BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Pura sebagai tempat yang
disucikan bagi
umat Hindu mempunyai arti yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupannya,
terutama untuk umat Hindu di Bali. Ini terbukti dengan banyaknya jenis pura
sesuai dengan fungsi dan karakterisasinya seperti : Pura Kahyangan Jagat,
Pura Subak, Pura Melanting, Pura Kawitan dan sebagainya. Dalam setiap Pura
tersebut juga terdapat berbagai macam pelinggih sebagai perwujudan Hyang Widhi
dalam berbagai aspek-Nya.
Diantara
pelinggih-pelinggih tersebut, yang kini banyak dikenal oleh seluruh umat Hindu
terutama di luar Bali adalah Padmasana. Pelinggih yang satu ini dianggap
sebagai pelinggih yang utama untuk Pura-pura di luar Bali. Pelinggih yang
terdiri atas bagian kaki (tepas), badan (batur) dan kepala (sari) ini diangap
sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala manifestasiNya.
Dalam fungsi utamanya
ini, Padmasana dilengkapi dengan Bedawang Nala, seekor kura-kura raksasa yang
dibelit dengan dua atau seekor naga yang terletak di bagian tepasnya. Dan
bagian belakangnya biasanya diisi gagak dan angsa. Pada bagian baturnya
dilengkapi dengan gambar (pahatan) atau patung asura dan para dewa. Sedangkan
pada bagian sarinya berbentuk singasana atau kusi yang dilengkapi dengan gambar
Sang Hyang Acintya. Semua ornamen tersebut diambil dari cerita “Pemutaran
Gunung Mandhara”. Jadi pembangunan padmasana ini juga diilhami oleh cerita tersebut.
1.2 Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian dari Padmasana ?
2.
Bagaimana
sejarah Padmasana ?
3.
Apa saja
bentuk-bentuk Padmasana?
4.
Dimana saja
letak Padmasana ?
5.
Apa fungsi
Padmasana?
1.3 Tujuan
penulisan
1.
Untuk
menjelaskan tentang Padmasana.
2.
Untuk
menjelaskan tentang sejarah Padmasana.
3.
Untuk
menjelaskan tentang bentuk-bentuk Padmasana.
4.
Untuk
menjelaskan tentang letak Padmasana.
5.
Untuk
menjelaskan tentang fungsi Padmasana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Padmasana
Padmasana atau
(Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh
sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal
dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun
oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit
Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan
“asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam
yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang
disusun oleh Prof. Drs. S.
Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari
dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana”
artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana
berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa
(I Made Titib, 2001).
Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat
duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari
gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa.Dalam Lontar “Padma
Bhuana“, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana.
Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang
sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama
Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma)
karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air,
sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah
simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang
berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam
semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana adalah
sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak
seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa
yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk
singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang
memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di
madya, maupun di puncak dari Padmasana. Isi pedagingan pesimpen
itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas,
diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat
ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari
luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama
bangunan itu sehingga bernama Padmasana Dewa-dewa dan Ida Sang
Hyang Widi bertahta di atasnya.
Simbol dari Padmasana
menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini
terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki)
melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan
atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud
bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam
puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya
namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk.
Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang
berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang
Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-Aiswarya
ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah:
puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan
tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal
ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni
keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.
Dengan demikian
Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga
teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau
pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat
menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
- Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
- Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
- Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Dalam pelinggih
Padmasana, ada berbagai hiasan yang masing-masing memili arti atau makna , yaitu:
1.
Bhedawangnala
2.
Naga
3.
Garuda Wisnu
4.
Angsa
5.
Achintya
6.
Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah,
karang boma, karang bun, karang paksi, dll.
2.2 Sejarah Padmasana
Menurut Lontar
“Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra,
atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan
wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali
menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14,
penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana. Sebelum
kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana
penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.
Ajaran itu diterima dari
para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu
Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu
Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih
sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga,
bebaturan, dan gedong. Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk
menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana
menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik
ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
Pemujaan Sanghyang Widhi
Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan
yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada
zaman Dinasti Warmadewa. Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong
(Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena
pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan
patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang
Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara
Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari. Maksudnya
niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa
sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja
Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.
Inilah yang digambarkan
sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta
Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai
niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.
2.3 Bentuk-Bentuk
Padmasana
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana,
dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:
- Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
- Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
- Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
- Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa
- Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)
Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan
menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan / penyawangan. Mengenai pedagingan
kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja. Sedangkan padmasana yang
mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar, Madya, dan Puncak.
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana
itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik
ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh
karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak
penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
2.4 Letak Padmasana
Letak Padmasana menurut arah mata angin
(pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
NO.
|
NAMA
|
LETAK DI
|
MENGHADAP KE
|
1.
|
Padma Kencana
|
timur (purwa)
|
barat (pascima)
|
2.
|
Padmasana
|
selatan (daksina)
|
utara (uttara)
|
3.
|
Padmasari
|
barat (pascima)
|
timur (purwa)
|
4.
|
Padma Lingga
|
utara (uttara)
|
selatan (daksina)
|
5.
|
PadmaAsta Sedhana
|
tenggara (agneya)
|
barat laut (wayabya)
|
6.
|
Padma Noja
|
barat daya (nairity)
|
timur laut (airsaniya)
|
7.
|
Padma Karo
|
barat laut (wayabya)
|
tenggara (agneya)
|
8.
|
Padma Saji
|
timur laut (airsanya)
|
barat daya (nairity)
|
9.
|
Padma Kurung
|
tengah-tengah
Pura (madya)
|
pintu keluar/ masuk (pemedal)
|
Pemilihan letak Padmasana berdasar
pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”. Dalam
membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di
mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka
ada perbedaan hulu teben. Misalnya:
- Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.
- Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga.
- Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian seterusnya. Pemilihan letak
Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk
perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan
konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan
memilih alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti
tersebut di atas.
2.5 Fungsi Padmasana
Fungsi utama dari
bangunan padmasana
yang berada di pura kahyangan tiga
khususnya di pura puseh
adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi,
Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut lontarCatur Wariga Winasasari, ada
bermacam-macam padmasana yang berbeda-beda fungsinya, menurut tempatnya.
- Timurlaut, linggih Sanghyang Siwa Raditya,
- Timur, linggih Sanghyang Iswara,
- Selatan adalah linggih Sanghyang Brahma,
- Utara adalah linggih Sanghyang Wisnu,
- Di tengah-tengah berupa padma kurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya sebagai linggih Sanghyang Samudaya.
BAB
III
PENUTUP
Pura sebagai tempat yang
disucikan bagi
umat Hindu mempunyai arti yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupannya,
terutama untuk umat Hindu di Bali. Ini terbukti dengan banyaknya jenis pura
sesuai dengan fungsi dan karakterisasinya seperti : Pura Kahyangan Jagat,
Pura Subak, Pura Melanting, Pura Kawitan dan sebagainya. Dalam setiap Pura
tersebut juga terdapat berbagai macam pelinggih sebagai perwujudan Hyang Widhi
dalam berbagai aspek-Nya.
Diantara
pelinggih-pelinggih tersebut, yang kini banyak dikenal oleh seluruh umat Hindu
terutama di luar Bali adalah Padmasana. Pelinggih yang satu ini dianggap
sebagai pelinggih yang utama untuk Pura-pura di luar Bali. Pelinggih yang
terdiri atas bagian kaki (tepas), badan (batur) dan kepala (sari) ini diangap
sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala manifestasiNya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku LKS Kls V
Titib, I Made . 2001 . Tempat Suci Agama Hindu .
CV Putra Perkasa : Surabaya
tugas pa neng?
BalasHapus