Minggu, 04 Januari 2015

Makalah Padmasana Winda



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Pura sebagai tempat yang disucikan bagi umat Hindu mempunyai arti yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupannya, terutama untuk umat Hindu di Bali. Ini terbukti dengan banyaknya jenis pura sesuai dengan fungsi dan karakterisasinya  seperti : Pura Kahyangan Jagat, Pura Subak, Pura Melanting, Pura Kawitan dan sebagainya. Dalam setiap Pura tersebut juga terdapat berbagai macam pelinggih sebagai perwujudan Hyang Widhi dalam berbagai aspek-Nya.
Diantara pelinggih-pelinggih tersebut, yang kini banyak dikenal oleh seluruh umat Hindu terutama di luar Bali adalah Padmasana. Pelinggih yang satu ini dianggap sebagai pelinggih yang utama untuk Pura-pura di luar Bali. Pelinggih yang terdiri atas bagian kaki (tepas), badan (batur) dan kepala (sari) ini diangap sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala manifestasiNya.
Dalam fungsi utamanya ini, Padmasana dilengkapi dengan Bedawang Nala, seekor kura-kura raksasa yang dibelit dengan dua atau seekor naga yang terletak di bagian tepasnya. Dan bagian belakangnya biasanya diisi gagak dan angsa. Pada bagian baturnya dilengkapi dengan gambar (pahatan) atau patung asura dan para dewa. Sedangkan pada bagian sarinya berbentuk singasana atau kusi yang dilengkapi dengan gambar Sang Hyang Acintya. Semua ornamen tersebut diambil dari cerita “Pemutaran Gunung Mandhara”. Jadi pembangunan padmasana ini juga diilhami oleh cerita tersebut.

1.2  Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari Padmasana ?
2.      Bagaimana sejarah Padmasana ?
3.      Apa saja bentuk-bentuk Padmasana?
4.      Dimana saja letak Padmasana ?
5.      Apa fungsi Padmasana?
1.3  Tujuan penulisan
1.      Untuk menjelaskan tentang Padmasana.
2.      Untuk menjelaskan tentang sejarah Padmasana.
3.      Untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk Padmasana.
4.      Untuk menjelaskan tentang letak Padmasana.
5.      Untuk menjelaskan tentang fungsi Padmasana.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Padmasana
Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.Padmasana berasal dari Bahasa Kawi, menurut Kamus Kawi-Indonesia yang disusun oleh Prof. Drs. S. Wojowasito (Penerbit CV Pengarang, Malang, 1977) terdiri dari dua kata yaitu: “Padma” artinya bunga teratai, atau bathin, atau pusat. “Sana” artinya sikap duduk, atau tuntunan, atau nasehat, atau perintah.Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Dalam Lontar “Padma Bhuana“, Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar “Dasa Nama Bunga” disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam — akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).

Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana. Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.
Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta-Aiswarya. Asta-Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan.
Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:
  1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
  2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
  3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa.
Dalam pelinggih Padmasana, ada berbagai hiasan yang masing-masing memili arti atau makna , yaitu:
1.      Bhedawangnala
2.      Naga
3.      Garuda Wisnu
4.      Angsa
5.      Achintya
6.      Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll.

2.2 Sejarah Padmasana 
Menurut Lontar “Dwijendra Tattwa”, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau nama (bhiseka) lain beliau: Mpu Nirartha atau Danghyang Nirartha. Berdasarkan wahyu yang diterima beliau di pantai Purancak (Jembrana) ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bali setelah menyeberang dari Jawa Timur di abad ke-14, penduduk Bali perlu dianjurkan membangun pelinggih Padmasana. Sebelum kedatangan beliau, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik di mana penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal.
Ajaran itu diterima dari para Maha Rsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol/niyasa ketika itu hanya: meru tumpang tiga, Kemulan rong tiga, bebaturan, dan gedong. Wahyu yang diterima oleh Danghyang Nirartha untuk menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk palinggih berupa Padmasana menyempurnakan simbol/niyasa yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap, baik ditinjau dari konsep horizontal maupun vertikal.
Pemujaan Sanghyang Widhi Wasa sebagai Bhatara Siwa berkembang di Bali sejak abad ke-9. Simbol pemujaan yang digunakan adalah Lingga-Yoni. Keadaan ini berlanjut sampai abad ke-13 pada zaman Dinasti Warmadewa. Sejak abad ke-14 pada rezim Dalem Waturenggong (Dinasti Kresna Kepakisan), penggunaan Lingga-Yoni tidak lagi populer, karena pengaruh ajaran Tantri, Bhairawa, dan Dewa-Raja. Lingga-Yoni diganti dengan patung Dewa yang dipuja sehingga cara ini disebut Murti-Puja.Ketika Danghyang Niratha datang di Bali pada pertengahan abad ke-14 beliau melihat bahwa cara Murti-Puja diandaikan seperti bunga teratai (Padma) tanpa sari. Maksudnya niyasa pemujaan yang telah ada seperti Meru dan Gedong hanyalah untuk Dewa-Dewa sebagai manifestasi Sanghyang Widhi namun belum ada sebuah niyasa untuk memuja Sanghyang Widhi sebagai Yang Maha Esa, yakni Siwa.
Inilah yang digambarkan sebagai padma tanpa sari. Danghyang Niratha setelah menjadi Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) mengajarkan kepada rakyat Bali untuk membangun Padmasana sebagai niyasa Siwa, di samping tetap mengadakan niyasa dengan sistem Murti-Puja.
2.3 Bentuk-Bentuk Padmasana
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana, yaitu:
  1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti
  2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.
  3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa
  4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa
  5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)
Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan / penyawangan. Mengenai pedagingan kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja. Sedangkan padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar, Madya, dan Puncak.
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
2.4 Letak Padmasana
Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:
NO.
NAMA
LETAK DI
MENGHADAP KE
1.
Padma Kencana
timur (purwa)
barat (pascima)
2.
Padmasana
selatan (daksina)
utara (uttara)
3.
Padmasari
barat (pascima)
timur (purwa)
4.
Padma Lingga
utara (uttara)
selatan (daksina)
5.
PadmaAsta Sedhana
tenggara (agneya)
barat laut (wayabya)
6.
Padma Noja
barat daya (nairity)
timur laut (airsaniya)
7.
Padma Karo
barat laut (wayabya)
tenggara (agneya)
8.
Padma Saji
timur laut (airsanya)
barat daya (nairity)
9.
Padma Kurung
tengah-tengah
Pura (madya)
pintu keluar/ masuk (pemedal)
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”. Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya:
  • Di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana.
  • Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga.
  • Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari.
Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.
2.5 Fungsi Padmasana
Fungsi utama dari bangunan padmasana yang berada di pura kahyangan tiga khususnya di pura puseh adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Menurut lontarCatur Wariga Winasasari, ada bermacam-macam padmasana yang berbeda-beda fungsinya, menurut tempatnya. 
BAB III
PENUTUP
Pura sebagai tempat yang disucikan bagi umat Hindu mempunyai arti yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupannya, terutama untuk umat Hindu di Bali. Ini terbukti dengan banyaknya jenis pura sesuai dengan fungsi dan karakterisasinya  seperti : Pura Kahyangan Jagat, Pura Subak, Pura Melanting, Pura Kawitan dan sebagainya. Dalam setiap Pura tersebut juga terdapat berbagai macam pelinggih sebagai perwujudan Hyang Widhi dalam berbagai aspek-Nya.
Diantara pelinggih-pelinggih tersebut, yang kini banyak dikenal oleh seluruh umat Hindu terutama di luar Bali adalah Padmasana. Pelinggih yang satu ini dianggap sebagai pelinggih yang utama untuk Pura-pura di luar Bali. Pelinggih yang terdiri atas bagian kaki (tepas), badan (batur) dan kepala (sari) ini diangap sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala manifestasiNya.









DAFTAR PUSTAKA
Buku LKS Kls V 
Titib, I Made . 2001 . Tempat Suci Agama Hindu . CV Putra Perkasa : Surabaya

1 komentar: