BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Pendidikan nasional
Indonesia
dewasa
ini terpaut
dengan praktik - praktik
pendidikan
pada masa lalu, dan
sekaligus mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Terdapat berbagai pengetahuan dan nilai sejarah dalam
praktik pendidikan bangsa kita
di masa lalu, yang
dapat kita ambil hikmahnya demi pembangunan pendidikan di masa sekarang dan di masa depan. Memahami pendidikan di
Indonesia sejak zaman Purba hingga zaman kolonial Belanda; pendidikan di Indonesia pada zaman pergerakan
kebangsaan (pergerakan nasional) dan
zaman Pendudukan
Militerisme
Jepang; serta pendidikan pada zaman kemerdekaan hingga era pembangunan jangka
panjang pertama (PJP I). Semua ini
tentunya akan
memperluas wawasan kependidikan
Anda, dan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam berpartisipasi membangun pendidikan nasional.
Sejarah atau history
adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang
didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi yang
mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita dan sebagainya
(Pidarta, 2007: 109). Sejarah adalah suatu peristiwa yang telah terjadi di masa
lampau, yang merupakan bagian dari kehidupan manusia, sejarah itu diisi
tergantung pada pembuat sejarah apakah diisi dengan tinta sejarah yang
bermanfaat atau sebakliknya. Hingga sampai saat ini pun sebenarnya kita juga
sedang membuat sejarah tentang kehidupan kita untuk generasi penerus kita baik
itu untuk anak dan cucu kita dan semua orang yang terlibat dalam aktivitas
kehidupan kita. Secara tidak langsung kita ada pada saat ini merupakan sejarah
dari orang tua kita, orang tua kita ada dari orang tua kita sebelumnya dan
begitulah seterusnya.
Peristiwa sejarah meliputi berbagai aktivitas manusia semua
bidang manusia salah satunya adalah landasan sejarah dalam bidang pendidikan
yang merupakan pembahasan makalah ini. Pendidikan merupakan hasil sejarah orang
– orang sebelum kita yang berjasa dalam bidang sejarah, oleh karena itu dengan
adanya landasan sejarah pendidikan di masa lalu bisa dijadikan gambaran untuk
melakukan pendidikan dimasa sekarang. Sehingga dalam pelaksannan pendidika
dapat mengarah pada tujuan sebenarnya pendidikan itu.Indonesia sendiri telah
mengalami berbagai perubahan dan salah satunyadi bidang pendidikan. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Untuk memajukan pendidikan
suatu bangsa maka kita perlu mempelajari sejarah pendidikan itu sendiri, baik yang
bersifat nasional maupun internasional. Karena dengan mernpelajari sejarah
pendidikan maka kita dapat mengetahui apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulu
kita serta hasil yang diperoleh.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
landasan sejarah pendidikan dunia dan sejarah pendidikan Indonesia ?
2.
Bagaimana
sejarah pendidikan di masa Perjuangan bangsa Indonesia, masa Pembangunan dan
masa Reformasi ?
3.
Bagaimanakah
implikasi landasan sejarah pendidikan terhadap pendidikan masa kini ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
landasan sejarah pendidikan dunia dan sejarah pendidikan Indonesia.
2.
Mengetahui
sejarah pendidikan di masa Perjuangan bangsa Indonesia, masa Pembangunan dan
masa Reformasi.
3.
Mengetahui
dan dapat menerapkan landasan sejarah pendidikan terhadap pendidikan masa kini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Landasan Sejarah
Lndasan historis pendidikan adalah
asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa
lampau (sejarah) yang dijadikan titik tolak perkembangan pendidikan masa kini
masa yang akan datang. Contoh semboyan “tut wuri handayani”. Sebagai salah satu
peranan yang harus dilaksanakan oleh para pendidik dan dijadikan semboyan
pada Depdiknas, adalah semboyan dari Ki
Hajar Dewantara (pendiri Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli
1992 di Yogyakarta) yang disetujui hingga masa kini dan untuk masa yang akan
datang karena dinilai berharga.
2.2 Sejarah Pendidikan Dunia
Umur sejarah pendidikan dunia sudah panjang sekali, mulai
dari zaman Hellenisme tahun 150SM-250SM, zaman pertengahan tahun 500-1500,
zaman Humanisme atau Renaissance, hingga zaman Refomasi dan Kontra-Reformasi
pada tahun 1600-an. Pendidikan pada zaman ini belum banyak memberikan
konstribusi pada pendidikan zaman sekarang. Oleh sebab itu, pendidikan yang
terjadi pada zaman ini tidak diuraikan.
A.
Zaman
Realisme
Pendidikan yang mulai menunjukkan perbedaan eksistensinya
dengan pendidikan-pendidikan sebelumnya adalah sejak zaman Realisme. Pendidikan
Realisme lebih berkiblat pada dunia dan bersumber dari keadaan di dunia ini
pula. Pendidikan tidak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani dan Romawi,
tidak banyak bergantung pada alam pikiran yang tertulis dalam buku, lengkap
dengan keadaan dan estetika yang ditimbulkannya. Realisme menghendaki pikiran
praktis.
Fransis Bacon adalah tokoh pendidikan pada zaman Realisme
ini (abad ke 17) yang pertama kali mengembangkan metode induktif. Pendapat
Bacon adalah sebagai berikut:
1) Dalam menemukan dan mengembangkan
pengetahuan, pandangan harus diarahkan ke realita alam mini serta hal-hal praktis
yang ada di dalamnya.
2) Alam lingkungan adalah sumber
pengetahuan yang bisa didapat lewat alat-alat indra.
3) Menggunakan metode berfikir
induktif, yaitu mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisis sehingga
menimbulkan simpulan.
4) Bila memungkinkan dapat
mengembangkan pengetahuan dengan eksperimen-eksperimen.
5) Penggunaan bahasa daerah lebih
diutamakan
Ada sejumlah pendidikan yang berkembang pada waktu itu yang
dirumuskan oleh Bacon beserta pengikut-pengikutnya, yaitu:
1) Pendidikan lebih dihargai daripada
pengajaran, karena pendidikan mengembangkan kemampuan manusia
2) Pendidikan harus menekankan
aktivitas sendiri
3) Penanaman pengertian lebih penting
daripada hapalan
4) Pelajaran disesuaikan dengan
perkembangan anak
5) Pengetahuan diperoleh dengan metode
induksi
6) Semua anak harus mendapatkan
kesempatan yang sama untuk belajar
Pandangan aliran Realisme tentang pendidikan sebagai
berikut:
1) Anak-anak harus belajar dari alam
2) Belajar dengan metode induktif
3) Mementingkan aktifitas anak
4) Mengutamakan pengertian
5) Ekspresi kata untuk menyatakan pengertian
menjadi penting
6) Belajar melalui bahasa ibu
7) Belajar dibantu oleh gambar-gambar
8) Materi dipelajari satu demi satu dari
yang sukar ke yang gampang
9) Pendidikan bersifat demokratis yaitu
semua untuk anak
B.
Zaman
Rasionalisme
Sesudah zaman Realisme berkebanglah zaman Rasionalisme
dengan tokohnya John Locke pada abad 18. Aliran ini bertujuan memberikan
kekuasaan pada manusia untuk berpikir sendiri dan bertindak untuk dirinya.
Karena itu, aliran ini juga disebut displinarisme. Dengan teorinya yang
terkenal ialah teori taularasa atau a blank sheet of paper.Proses belajar
menurut Jhon Locke ada tiga langkah, yaitu:
a) Mengamati hal-hal yang ada diluar
diri manusia.
b) Mengingat apa yang telah diamati dan
dihafalkan.
c) Berfikir
C.
Zaman
Naturalisme
Tokoh dari aliran ini yaitu J.J. Rousseu. Naturalism
menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti
gaya hidup yang diperhalus, cara hidup yang dibuat-buat, sampai dengan korupsi.
Anak-anak dipadang sebagai orang deasa yang kecil. Naturaliem menginginkan
keseimbanagn kekuatan antara rasio dan hati. Menurut Rousseau ada tiga asas
pengajar yaitu:
a) Asas pertumbuhan: pengajaran harus
memberikan kesempatan pada anak-anak bertumbuh secara wajar dengan cara mempekerjakan
mereka sesuai dengan kebutuhannya
b) Asas aktifitas: melalui belajar
anak-anak menjadi aktif yang akan meberikan pengalaman, yang kemduain akan
menjadi penetahuan mereka
c) Asas individualis: dengan cara
menyiapkan pendidikan sesuai dengan individualitas masing-masing anak, sehingga
mereka berkembang menurut alamnya sendiri
Tokoh kedua adalah J.F. Herbart yang menginginkan
pembentukan manusia susila yang bermoral tinggi. Tujuan pendidikannya adalah
membentuk watak anak melaui pengembangan minat seluas-luasnya. Dasar dari teori
pndidikan Herbart adalah Psikologi Asosiasi. Pembelajaran yang baik adalah yang
memberikan tanggapan sejelas-jelasnya kepada anak-anak. Karena itu Psikologi
Asosiasi Herbart sering pula disebut Psikologi Tanggapan.
Menurut Herbart ada lima langkah dalam proses belajar mengajar:
Menurut Herbart ada lima langkah dalam proses belajar mengajar:
A. Persiapan: anak-anak dipersiapkan
untuk menerima pelajaran
B. Presentasi:dimulai secara konkret
agar anak-anak mendapat tanggapan-tanggapan yang jelas dan kuat
C. Asosiasi: dilakukan dengan cara
mengintegrasikan pengetahuan baru dengan yang lama
D. Generalisasi: hubungan pengetahuan
baru dengan yang lama bertujuan membentuk sesuatu yang baru pula dalam benak
anak-anak
E. Aplikasi: pembentukan
pengetahuan-pengetahuan baru itu perlu diuji atau dites untuk mengetahui apakah
anak-anak sudah mampu mengaplikasikan pengetahuan itu atau belum.
2.3 Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman
pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan
zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125).
A.
Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha
Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang
ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang
berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu
keyakinan mempersatukan figur Siva dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha
Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang
berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha Tunggal yaitu Tuhan ,
secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2012: 215).
Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yang sama yaitu
pendidikan diarahkan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan
keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo, 217), juga mencari petunjuk tentang
apa yang diinginkan, baik buruknya, hingga pencapaiannya.
Latar Belakang Sosial Budaya. Nenek moyang kita pada zaman ini umumnya tinggal di
daerah subur dekat pesisir pantai. Mereka melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang dari India yang singgah
dalam perjalanannya.
Hubungan dagang semakin
lama
semakin
meningkat. Seiring dengan
itu ke dalam masyarakat
kita masuklah kebudayaan yang
dibawa oleh orang-orang India. Antara lain berupa bahasa, tulisan, agama, termasuk juga sistem pemerintahan yang berlaku di India.
Masuknya pengaruh kebudayaan tersebut di
atas telah menimbulkan perubahan keadaan sosial-budaya masyarakat setempat. Para ketua adat di negeri kita zaman itu lambat laun berusaha menyamai raja di
India. Diantara
para
ketua
adat ada yang dinobatkan
atau
menobatkan diri menjadi
raja-raja lokal.
Struktur
sosial yang pada awalnya
bersifat egaliter (tidak
mengenal stratifikasi
sosial yang tegas) juga turut berubah. Maka
timbullah dua
golongan manusia, yaitu: golongan yang
dijamin dan golongan yang menjamin. Raja dengan para pegawainya berstatus sebagai yang dijamin,
sedangkan rakyat jelata berstatus sebagai
yang menjamin.
Sebagaimana
di India, terdapat stratifikasi sosial berdasarkan kasta, yakni: kasta Brahmana, Ksatria, Waisa, Syudra,
dan Paria. Sekalipun
stratifikasi sosial
semacam itu tidak berlaku secara menyeluruh dan tegas di dalam masyarakat kita (misal: bagi penganut animisme,
dinamisme dan Budha yang juga telah ada saat itu), namun
batas pemisah kelas sosial antara yang dijamin dan yang menjamin tampak jelas. Menurut para ahli, paling lambat pada abad ke 5 Masehi telah dimulailah zaman sejarah di negeri kita. Hal ini ditandai dengan ditemukannya tulisan tertua (tulisan huruf Palawa bahasa Sansekerta) oleh para ilmuwan sejarah di dekat Bogor dan Kutai.
Pendidikan. Pendidikan
pada
zaman ini,
selain
diselenggarakan di
dalam keluarga dan didalam kehidupan keseharian masyarakat, juga diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang
disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren. Hal ini sebagaimana telah
berlangsung di
kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum
Brahmana, kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana. Terdapat tingkatan
guru: pertama, guru (perguruan) keraton, di sini yang menjadi murid-muridnya adalah
para anak raja dan bangsawan; kedua adalah guru (perguruan) pertapa, di sini yang menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Namun demikian para guru pertapa
juga
biasanya selektif dalam menerima seseorang untuk
menjadi muridnya. Ini antara lain merupakan implikasi dari feodalisme yang
berkembang saat itu. Pendidikan bersifat aristokratis, artinya masih terbatas hanya untuk minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan
Ksatria, belum menjangkau masyarakat mayoritas, yaitu anak-anak kasta Waisya dan Syudra, apalagi bagi anak-anak dari kasta Paria. Pada zaman ini pengelolaan
pendidikan
bersifat otonom, artinya para pemimpin pemerintahan (para raja) tidak
turut
campur mengenai pengelolaan pendidikan,
pengelolaan pendidikan bersifat otonom di tangan para guru atau pandita.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta dididik menjadi penganut agama yang taat,
mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang berlaku saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan
menulis (huruf
Palawa), kesusasteraan, keterampilan
memahat atau
membuat candi, dan bela
diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis
lembaga pendidikannya (perguruan), maka
metode atau cara-cara pendidikannya pun adalah “Sistem Guru Kula”. Dalam sistem ini
murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
Pada zaman berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan Sriwijaya
(di Palembang), telah terdapat “Perguruan Tinggi
Budha”. Selain dari dalam
negeri sendiri, murid-muridnya juga berasal dari Tiongkok, Jepang, dan Indocina. Darmapala sangat terkenal sebagai maha guru Budha. Perguruan-perguruan Budha menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Mungkin
sekali candi Borobudur, Mendut, dan Kalasan merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha. Perhatikan hasil sastra yang ditulis para
empu (pujangga) yang bermutu tinggi. Contoh: Pararaton, Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda. Para pujangga yang
terkenal antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Panuluh, dan Empu Prapanca (Idit suhendi, dkk, 1991).
B.
Zaman
Pengaruh Islam (Tradisional)
Agama Islam mulai
masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara
pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan
dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun
sebagai arus kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan agama Islam pada zaman
ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan dari pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan
hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan akhirat. (Mudyahardjo.: 121-223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini
tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan
melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali
di Jawa, terutama Wali Sanga.
Latar Belakang Sosial Budaya.
Nusantara memiliki letak yang
strategis dalam rangka
pelayaran dan
perdagangan. Ke
negeri
kita
berdatangan
pula para saudagar beragama Islam. Melalui mereka para raja
dan
masyarakat pesisir memeluk agama Islam. Pada pertengahan abad ke-14, kota Bandar Malaka ramai dikunjungi para saudagar dari Asia Barat dan
Jawa
(Majapahit). Melalui para
saudagar dari Jawa yang masuk memeluk
agama Islam, maka tersebarlah Islam ke pulau Jawa. Dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa Anda juga mungkin masih ingat akan jasa para wali yang dikenal sebagai Wali Sanga. Akhirnya berdirilah kerajan-kerajaan Islam.
Pemerintahan pada zaman ini dipimpin oleh raja. Di dalam wilayah kerajaan-
kerajaan Islam umumnya masyarakat tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Sesuai ajaran Islam, masyarakat tidak membedakan manusia berdasarkan keturunan atau kasta. Sekalipun zaman ini masih tetap terdapat kelompok raja dan para bangsawan/para
pegawai di
satu pihak, dan terdapat kelompok rakyat jelata di pihak lain,
namun feodalisme di kalangan masyarakat pada umumnya mulai ditinggalkan.
Pendidikan. Tujuan pendidikan pada zaman kerajaan
Islam
diarahkan agar
manusia bertaqwa kepada Allah S.W.T., sehingga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui “iman, ilmu
dan
amal”. Selain berlangsung di
dalam keluarga, pendidikan
berlangsung di
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti: di langgar-langgar, mesjid, dan pesantren. Lembaga perguruan atau
pesantren yang sudah ada sejak zaman Hindu- Budha dilanjutkan oleh para wali, ustadz, dan atau ulama Islam. Kurikulum pendidikannya
tidak tertulis
(tidak
ada kurikulum formal).
Pendidikan berisi tentang
tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah S.W.T.), Al-Qur’an, hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis huruf Arab.
Pendidikan adalah hak
semua orang, bahkan semua orang wajib mencari ilmu,
mendidik diri atau belajar. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan dikelola oleh para
ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut
campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikanbersifat otonom).
Metode atau cara-cara pendidikan. Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi,
tergantung dengan
sifat materi
pendidikan, tujuan,
dan peserta didiknya.
Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah atau tabligh (wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) biasanya dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar individual). Dalam metode
sorogan walaupun para santri bersama-sama dalam satu ruangan, tetapi mereka belajar dan diajar oleh
ustadz secara
individual. Cara-cara
belajar
dilakukan pula
melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah
digunakan para pandita Hindu-Budha, hanya saja isi
ajarannya diganti dengan
ajaran yang Islami.
Demikian
pula dalam
sistem
pesantren atau pondok
asrama. Di langgar atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al- Qur’an dan materi pendidikan yang
sifatnya mendasar. Adapun materi pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di pesantren.
C.
Zaman Pengaruh Portugis dan Spanyol.
Latar Belakang Sosial-Budaya. Pada awal abad ke –16 ke negeri kita datanglah bangsa Portugis, kemudian disusul oleh bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang kedatangan mereka juga disertai oleh missionaris
yang bertugas menyebarkan agama Katholik. Pada akhir abad
ke-16 mereka meninggalkan negeri ini karena sering mendapat
pemberontakan terutama dari Sultan Ternate, karena perdagangan rempah-rempah sudah
tidak menguntungkan lagi, dan karena kalah dalam peperangan melawan Belanda.
Pendidikan. Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang
pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik. Demi kepentingan tersebut, tahun
1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di Ternate, selain itu didirikan pula di Solor.
Kurikulum pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik, ditambah pelajaran membaca, menulis dan
berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka.
Pendidikan
yang lebih
tinggi diselenggarakan
di Gowa,
pusat
kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda
yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Pada tahun 1546, di Ambon telah ada tujuh kampung yang penduduknya memeluk agama Nasrani Katolik.
D.
Zaman
Kolonial Belanda
Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yang ada diawasi
secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui
pendidikan, gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di
Indonesia pada sat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Tiga poin
utama dalam politik etis Belnada pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan
edukasi. Dalam poin eduksi, peerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya
barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini
ternyata tidak menjadi sarana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang
disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung,
membaca, dan menulis.
Pada masa ini pula, pendidikan pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:
Pada masa ini pula, pendidikan pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:
1)
System
pendidikan dari masa islam yang diwakili dengan pondok pesantren
2)
Pendidikan
bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
3)
Pendidikan
“swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi
perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin
meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu tokoh-tokoh
pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse
School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad
Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar
bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).
Latar Belakang Sosial Budaya. Pada
tahun 1596 bangsa Belanda telah datang ke negeri kita. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk
berdagang. Pada
tahun 1602 mereka mendirikan VOC. Karena VOC
merupakan badan perdagangan milik orang-orang Belanda yang
beragama Protestan, maka selain berupaya menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Protestan. Kekuasaan
VOC
akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda, karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda.
Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain: (1) berlangsungnya kolonialisme, (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan laku di
pasar
dunia, (3)
terdapat
stratifikasi sosial berdasarkan ras atau
suku bangsa dengan urutan dari lapisan tertingi s.d. terbawah sebagai
berikut:
bangsa Belanda, golongan orang Timur Asing, golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi.
Sejak berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita
ditindas dan diadu domba, kekuasaan para raja dirampasnya, dan kekayaan alam Indonesia diangkutnya. Sesungguhnya bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan ini, perlawanan dan pemberontakan
dilakukan
oleh berbagai
kelompok
bangsa kita di berbagai
daerah di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Seiring perjuangan bangsa yang tak
pernah padam, pada awal abad ke-20 muncul tekanan serta kecaman kaum
humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas
kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini
akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan
semakin sadarnya
bangsa Indonesia akan
makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai pergerakan. Pergerakan nasional
berlangsung
dalam
jalur politik
maupunpendidikan. Coba Anda urai kembali sejarah berbagai perkumpulan atau
organisasi pergerakan
nasional beserta
usaha-usahanya
yang timbul sejak Kebangkitan
Nasional
tahun 1908 sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Pendidikan. Implikasi
dari
kondisi
politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia pada zaman ini, secara umum dapat
dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda; Kedua, pendidikan yang diselenggarakan oleh
rakyat
dan Kaum Pergerakan
Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana
perjuangan demi merebut kembali kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional. Berikut ini mari kita kaji kondisi pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
a) Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan
di bawah kekuasaan
kolonial
Belanda
diawali dengan pelaksanaan
pendidikan yang
dilakukan oleh VOC. VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan
(Protestan), bukan
untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah
disebarkan
oleh
bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di
Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di
Ambon telah
berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan
lama
pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya
berasal dari anak- anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah.
Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka
yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama kira-kira 200 tahun berkuasa di negeri kita,
pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar
50 orang, Timor, 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).
b) Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai
kelanjutan
dari
zaman
VOC, pendidikan pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda pun mengecewakan bangsa
Indonesia. Kebijakan dan praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1) Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa menyebarkan
pendidikan
bagi kalangan rakyat,
tetapi kebijakan ini tidak terwujud.
2) Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat juga diabaikan.
3) Tahun 1816 Komisaris Jenderal C.G.C. Reindwardt
menghasilkan Undang-undang Pengajaran
yang dianggap sebagai dasar
pendirian sekolah, tetapi Peraturan Pemerintah yang
menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan pendidikan bagi
rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan
dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut
Protestan.
4) Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan
Culturstelsel (Tanam Paksa)
demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda. Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau
pegawai rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana
anggaran
belanja
negara
sebesar
f 25.000
tiap tahunnya
untuk mendirikan
sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah
(di
tiap keresidenan).
Namun sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang
dicanangkan sejak
1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan
mengenai bahasa pengantarnya.
Maka pada
tahun 1852 didirikanlah Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta, dan menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini
pun hanyalah untuk anak-
anak golongan priyayi.
5) Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima bekerja untuk
pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada tgl. 10
September 1864.
Demi kepentingan itu di Batavia
didirikanlah semacam sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6) Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7) Tahun 1870 UU Agraris dari
De
Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak
partikelir untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8) Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah Kelas I
untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata.
9) Setelah
dilaksanakannya Politik Etis,
pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van
Heutsz mengeluarkan kebijakan
tentang pendidikan
Bumi Putera:
pertama, mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak
sifat ke-Belanda-an
pada Sekolah
Kelas
I. Maka tahun
1914 Sekolah Kelas
I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse
School) 6 tahun dengan
bahasa
pengantar bahasa
Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II
tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi mengalami perpecahan,
golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10) Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami
hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha
pendidikan
bagi kalangan
Bumi
Putera.
Sampai akhir tahun
1940 jumlah penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan
yang bersekolah hanya 3,32%. Ciri-ciri pendidikan. Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi pendidikan
bagi
kalangan Bumi
Putera,
pendidikan umumnya
hanya diperuntukan
bagi bangsa
Belanda dan anak-anak bumi
putera
dari
golongan priyayi;
kedua, pendidikan
bertujuan
untuk menghasilkan
tenaga
kerja
murah
atau pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan
lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda
yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera; 2)
Sistem Konkordansi,
yaitu pendidikan
di daerah jajahan
diarahkan
dan
dipolakan menurut
pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek merugikan
dalam hal pembentukan
jiwa kaum Bumi
Putera
yang asing dengan
budaya
dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh
pemerintahan kolonial Belanda; 4)
Menghambat gerakan nasional; dan
5) Munculnya perguruan swasta yang
militan demi perjuangan nasional (kemerdekaan).
E.
Zaman
Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial
Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa
Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak
pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka. Meskipun
demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia.
Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme
pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang
sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas
diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di
kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa
Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945
cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).
2.3.1 Landasan Sejarah
Pendidikan Di Masa Perjuangan Bangsa Indonesia, Masa Pembangunan Dan Masa Reformasi.
2.3.1.1 Masa Perjuangan.
a.
Zaman Kolonial Belanda
Didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan
diberbagai bidang, Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat Indonesia
dengan tujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri
maupun swasta. Adapun kecenderungan pendidikan masa kolonial ini adalah:1)
membiarkan terselengarakannya pendidikan islam tradisional serta membantu
mendirikan madrasah Islam di Nusantara, 2) mendirikan sekolah Zending
(mizionaris) yang bertujuan menyebarkan agama kristen. Adapun ciri khas
pendidikannya antara lain: 1) dualistik diskriminatif, 2) sentralistik, 3)
tujuan pendidikan untuk menghasilkan tamatan sebagai warga negara Belanda kelas
dua.
Kurikulum sekolah mengalami radikal dengan masuknya ide-ide
liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual,
nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan
untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun 1848
dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun
menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia
sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal
yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Pda tahun 1899 terbit sebuah artikel
oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids, Ia
menganjurkan agar pemerintah lebih memajukan kesejahterran rakyat Indonesia.
Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis. Sejak dijalankannya Politik
Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama
beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat
terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang
orang tuanta adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite
intelektual baru. Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis
kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan
berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908
dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
b.
Zaman Kolonial Jepang
Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 yang pada masa itu
sedang terjadi Perang Dunia sehingga berimbas pada pemerintahan Jepang yang
bersifat militeristik. Dalam misinya menguasai Indonesia, Jepang banyak
melakukan perubahan. Termasuk dibidang pendidikan, penyelenggaraannya ditujukan
untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang. Selain
itu, di bidang pendidikan secara luas ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia antara lain: a) Jepang telah menghapus dualisme pendidikan
dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi
semua orang, b) pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstrusikan oleh
Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor dan dalam
pergaulan sehari-hari. Bahas Jepang sebagai bahasa kedua sedang bahasa Belanda
dilarang, c) Jepang mendirikan sekolah guru dengan sistem pembinaan
indoktrinasi mental ideologis, d) pembinaan murid dan para pemuda dilakukan
dengan senam pagi (taiso).
c.
Zaman Kemerdekaan
Meski belum mencapai suasana kondusif dalam kehidupan
pemerintahannya, akan tetapi dalam bidang pendidikan pada awal kemerdekaan ini
terus dilaksanakan dengan berpedoman pada UUD1945 pasal 31. Dalam prakteknya,
penyelenggaraan pendidikan pada era 1945-1950 yaitu :
Ø Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia mengusulkan perlunya pembaharuan di bidang pendidikan
Ø Pembentukan pendidikan masyarakat
yang bertujuan membangun masyarakat adil dan makmur berdasar pancasila.
Ø Pembentukan Panitia Penyelidik
Pengajaran
Ø Menetapkan kurikulum awal sebagai
pedoman penyelenggaraan pendidikan
Ø Pembaharuan kurikulum menjadi
kurikulum SR 947
2.3.1.2 Masa Pembangunan
Dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan
Manipol, melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional
dipandang sebagai alat revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus
memiliki Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu: (1) Membina Manusia Indonesia
Baru yang berakhlak tinggi (Moral Pancasila), (2) Memenuhi kebutuhan tenaga
kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya (manpower), (3) Memajukan dan
mengembangkan kebudayaan nasional, (4) Memajukan dan mengembangkan ilmu
engetahuan dan teknlogi, (5) Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan
rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia baru. Selanjutnya
dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK.
Dengan demikian tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga
negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual
maupun material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional
ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto
Politik. Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antra lain dirumuskan kembali
mengenai dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik
nasional. Yang menarik dalam rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi
bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia ialah menghimpun kekuatan progresif
revolusioner berporoskan Nasakom.
Banyak progam pembangunan yang telah direncanakan dalam
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Thap Pertama (1961-1969). Rencana proyek
pembangunan di bidang pendidikan antara lain berkenaan pengembangan pendidikan
tinggi,diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus
dan sebagainya. Namun demikian akibat pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka
rontoklah rencana pembangunan nasional semesta berencana tersebut. Setelah
pemberontakan G30S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan
masyarakat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)
Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas pemecahn dari berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya. Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, 2) pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan, dan 5) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan pokok tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas pemecahn dari berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya. Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, 2) pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan, dan 5) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan pokok tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
Kurikulum Pendidikan dalam PJP I telah dilakukan tiga kali
perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu dikenal sebagai: Kurikulum
1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam
Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan juga ditingkatkan mutu
pendidikannya terutama mutu guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank
Dunia diadakan brbagai usah untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah.
Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik
Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat
digunakan beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus
menerus, baik melalui dan pinjaman dari ADB juga bantuan dari negara-negar
sahabat.
2.3.1.3 Masa Reformasi
Selama Orde Baru berlansung, rezim yang berkuasa sangat
leluasa melakukan hal-hal yang mereka ingunkan tanpa ada yang berani melakukan
pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat
kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak
ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk
berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Maraknya gerakan reformasi menyebabka
tumbangnya kekuasaan orde baru. Implikasi dari peristiwa itu dapat dirasakan
pada seluruh aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pendidikan. Dengan di
berlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 maka sistem penyelengaraan
pendidikan berubah ke otonomi pendidikan. Desentralisasi kekuasaan yang menitik
beratkan pada partisipasi rakyat menuntut tersedianya tenaga-tenaga terampil
dalam jumlah dan kualitas yang tnggi serta pemberdayaan lembaga-lembaga sosial
di daerah termasuk dalm bidang pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan di daerah akan memberikan implikasi langsung dalam penyusunan
kurikulum yang dewasa ini sangat sentalistis.
Disamping itu kesejahteraan tenaga kependidikan
perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional
mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga
diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasi Sekolah), Life Skill (Lima
Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total QualityManajement).
2.3.1.4 Implikasi Landasan Sejarah Pendidikan
Terhadap Pendidikan.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita pada masa kini. Sistem
pendidikan yang kita terapkan masa kini adalah hasil perkembangan pendidikan
yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa lampau. Hal ini
sudah terbukti dengan adanya kemajuan perkembangan dalam segala bidang,
misalnya; ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Berikut
pembahasan tetntang implikasi landasan sejarah terhadap konsep pendidikan ;
A. Tujuan pendidikan diharapkan
bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik. Serta
mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga
diarahkan untuk pengembangkan segala aspek pribadi yang terdapat dalam individu
peserta didik, baik dalam aspek keagamaan ataupun kemandirian. Dengan
mengetahui landasan sejarah pendidikan kita dapat mengetahui betapa pentingnya
konsep tujuan dari pendidikan yang seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
B. Proses Pendidikan terutama proses
belajar- mengajar dan materi pelajaran harus disesuaikan denagn tingkat
perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa,
mengembangkan kemandirian dan kerjasama siwa dalam pembelajaran, menegmbangkan
pelajaran dalam lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serat
C. Kebudayaan nasional, Sejarah membawa
perubahan kebudayaan. Dari zaman dahulu dahulu sampai saat ini, adanya
perubahan budaya karena pengalaman sejarah melalui penemuan baru, pertukaran
budaya akibat penjajahan bangsa asing sehingga sejarah membawa dampak perubahan
peradaban kebudayaan melalui peranan pendidikan.Pendidikan harus juga memajukan
kebudayaan nasional. Pidarta (2008:149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional
merupakan puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia
agar tidak ditelan oleh budaya global.
D. Inovasi-inovasi Pendidikan.
Inovasi-inovasi harus berumber dari hasil hasil penelitian pendidikan di
indonesia, sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan
yang bercirikan indonesia.
BAB III
PENUTUPAN
3.1
Kesimpulan.
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan
histori kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa sejarah
sangatlah penting untuk diketahui apalagi sejarah pendidikan indonesia dari
perjuangan para tokoh pendidikan di indonesia serta peran pemerintah untuk
mengembangkan dunia pendidikan.Yang menjadi landasan historis kependidikan di
Indonesia adalah semua pengalaman dan pandangan masa lalu bangsa Indonesia yang
dapat dijadikan cerminan untuk perbaikan dalam dunia pendidikan di masa
depan.Pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa
lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu
digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan
mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi
pengawal,perantara,dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan
memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan
“harta karun” yang tersia-siakan.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno,
Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Mudyahardjo,
Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan
pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Pidarta,
Made. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.Jakarta:
Rineka Cipta.
Suardi.
2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar