Minggu, 19 Februari 2017

Sejarah Pendidikan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar belakang

Pendidikan  nasional  Indonesia  dewasa  ini  terpaut dengan  praktik - praktik pendidikan  pada  masa  lalu,  dan  sekaligus  mengarah  ke  masa depan  untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Terdapat berbagai pengetahuan  dan nilai sejarah dalam  praktik pendidikan bangsa kita  di masa lalu, yang dapat kita ambil hikmahnya demi pembangunan pendidikan di masa sekarang dan di masa depan. Memahami pendidikan di Indonesia sejak zaman Purba hingga zaman kolonial Belanda; pendidikan di Indonesia pada zaman pergerakan  kebangsaan  (pergerakan  nasional)  dan  zaman  Pendudukan  Militerisme Jepang; serta pendidikan pada zaman kemerdekaan hingga era pembangunan jangka panjang pertama (PJP I). Semua ini tentunya akan memperluas wawasan kependidikan Anda, dan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam berpartisipasi  membangun pendidikan nasional.
Sejarah atau  history adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109). Sejarah adalah suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, yang merupakan bagian dari kehidupan manusia, sejarah itu diisi tergantung pada pembuat sejarah apakah diisi dengan tinta sejarah yang bermanfaat atau sebakliknya. Hingga sampai saat ini pun sebenarnya kita juga sedang membuat sejarah tentang kehidupan kita untuk generasi penerus kita baik itu untuk anak dan cucu kita dan semua orang yang terlibat dalam aktivitas kehidupan kita. Secara tidak langsung kita ada pada saat ini merupakan sejarah dari orang tua kita, orang tua kita ada dari orang tua kita sebelumnya dan begitulah seterusnya.
Peristiwa sejarah meliputi berbagai aktivitas manusia semua bidang manusia salah satunya adalah landasan sejarah dalam bidang pendidikan yang merupakan pembahasan makalah ini. Pendidikan merupakan hasil sejarah orang – orang sebelum kita yang berjasa dalam bidang sejarah, oleh karena itu dengan adanya landasan sejarah pendidikan di masa lalu bisa dijadikan gambaran untuk melakukan pendidikan dimasa sekarang. Sehingga dalam pelaksannan pendidika dapat mengarah pada tujuan sebenarnya pendidikan itu.Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perubahan dan salah satunyadi bidang pendidikan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Untuk memajukan pendidikan suatu bangsa maka kita perlu mempelajari sejarah pendidikan itu sendiri, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Karena dengan mernpelajari sejarah pendidikan maka kita dapat mengetahui apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulu kita serta hasil yang diperoleh.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana landasan sejarah pendidikan dunia dan sejarah pendidikan Indonesia ?
2.      Bagaimana sejarah pendidikan di masa Perjuangan bangsa Indonesia, masa Pembangunan dan masa Reformasi ?
3.      Bagaimanakah implikasi landasan sejarah pendidikan terhadap pendidikan masa kini ?


1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui landasan sejarah pendidikan dunia dan sejarah pendidikan Indonesia.
2.      Mengetahui sejarah pendidikan di masa Perjuangan bangsa Indonesia, masa Pembangunan dan masa Reformasi.
3.      Mengetahui dan dapat menerapkan landasan sejarah pendidikan terhadap pendidikan masa kini.












BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Landasan Sejarah
            Lndasan historis pendidikan adalah asumsi-asumsi pendidikan yang bersumber dari konsep dan praktek pendidikan masa lampau (sejarah) yang dijadikan titik tolak perkembangan pendidikan masa kini masa yang akan datang. Contoh semboyan “tut wuri handayani”. Sebagai salah satu peranan yang harus dilaksanakan oleh para pendidik dan dijadikan semboyan pada  Depdiknas, adalah semboyan dari Ki Hajar Dewantara (pendiri Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1992 di Yogyakarta) yang disetujui hingga masa kini dan untuk masa yang akan datang karena dinilai berharga.

2.2 Sejarah Pendidikan Dunia
Umur sejarah pendidikan dunia sudah panjang sekali, mulai dari zaman Hellenisme tahun 150SM-250SM, zaman pertengahan tahun 500-1500, zaman Humanisme atau Renaissance, hingga zaman Refomasi dan Kontra-Reformasi pada tahun 1600-an. Pendidikan pada zaman ini belum banyak memberikan konstribusi pada pendidikan zaman sekarang. Oleh sebab itu, pendidikan yang terjadi pada zaman ini tidak diuraikan.

A.    Zaman Realisme
Pendidikan yang mulai menunjukkan perbedaan eksistensinya dengan pendidikan-pendidikan sebelumnya adalah sejak zaman Realisme. Pendidikan Realisme lebih berkiblat pada dunia dan bersumber dari keadaan di dunia ini pula. Pendidikan tidak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani dan Romawi, tidak banyak bergantung pada alam pikiran yang tertulis dalam buku, lengkap dengan keadaan dan estetika yang ditimbulkannya. Realisme menghendaki pikiran praktis.
Fransis Bacon adalah tokoh pendidikan pada zaman Realisme ini (abad ke 17) yang pertama kali mengembangkan metode induktif. Pendapat Bacon adalah sebagai berikut:
1)      Dalam menemukan dan mengembangkan pengetahuan, pandangan harus diarahkan ke realita alam mini serta hal-hal praktis yang ada di dalamnya.
2)      Alam lingkungan adalah sumber pengetahuan yang bisa didapat lewat alat-alat indra.
3)      Menggunakan metode berfikir induktif, yaitu mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisis sehingga menimbulkan simpulan.
4)      Bila memungkinkan dapat mengembangkan pengetahuan dengan eksperimen-eksperimen.
5)      Penggunaan bahasa daerah lebih diutamakan

Ada sejumlah pendidikan yang berkembang pada waktu itu yang dirumuskan oleh Bacon beserta pengikut-pengikutnya, yaitu:
1)      Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran, karena pendidikan mengembangkan kemampuan manusia
2)      Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri
3)      Penanaman pengertian lebih penting daripada hapalan
4)      Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak
5)      Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi
6)      Semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar

Pandangan aliran Realisme tentang pendidikan sebagai berikut:
1)      Anak-anak harus belajar dari alam
2)      Belajar dengan metode induktif
3)      Mementingkan aktifitas anak
4)      Mengutamakan pengertian
5)      Ekspresi kata untuk menyatakan pengertian menjadi penting
6)      Belajar melalui bahasa ibu
7)      Belajar dibantu oleh gambar-gambar
8)      Materi dipelajari satu demi satu dari yang sukar ke yang gampang
9)      Pendidikan bersifat demokratis yaitu semua untuk anak

B.     Zaman Rasionalisme
Sesudah zaman Realisme berkebanglah zaman Rasionalisme dengan tokohnya John Locke pada abad 18. Aliran ini bertujuan memberikan kekuasaan pada manusia untuk berpikir sendiri dan bertindak untuk dirinya. Karena itu, aliran ini juga disebut displinarisme. Dengan teorinya yang terkenal ialah teori taularasa atau a blank sheet of paper.Proses belajar menurut Jhon Locke ada tiga langkah, yaitu:
a)      Mengamati hal-hal yang ada diluar diri manusia.
b)      Mengingat apa yang telah diamati dan dihafalkan.
c)      Berfikir

C.     Zaman Naturalisme
Tokoh dari aliran ini yaitu J.J. Rousseu. Naturalism menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti gaya hidup yang diperhalus, cara hidup yang dibuat-buat, sampai dengan korupsi. Anak-anak dipadang sebagai orang deasa yang kecil. Naturaliem menginginkan keseimbanagn kekuatan antara rasio dan hati. Menurut Rousseau ada tiga asas pengajar yaitu:
a)      Asas pertumbuhan: pengajaran harus memberikan kesempatan pada anak-anak bertumbuh secara wajar dengan cara mempekerjakan mereka sesuai dengan kebutuhannya
b)      Asas aktifitas: melalui belajar anak-anak menjadi aktif yang akan meberikan pengalaman, yang kemduain akan menjadi penetahuan mereka
c)      Asas individualis: dengan cara menyiapkan pendidikan sesuai dengan individualitas masing-masing anak, sehingga mereka berkembang menurut alamnya sendiri
Tokoh kedua adalah J.F. Herbart yang menginginkan pembentukan manusia susila yang bermoral tinggi. Tujuan pendidikannya adalah membentuk watak anak melaui pengembangan minat seluas-luasnya. Dasar dari teori pndidikan Herbart adalah Psikologi Asosiasi. Pembelajaran yang baik adalah yang memberikan tanggapan sejelas-jelasnya kepada anak-anak. Karena itu Psikologi Asosiasi Herbart sering pula disebut Psikologi Tanggapan.
Menurut Herbart ada lima langkah dalam proses belajar mengajar:
A.    Persiapan: anak-anak dipersiapkan untuk menerima pelajaran
B.     Presentasi:dimulai secara konkret agar anak-anak mendapat tanggapan-tanggapan yang jelas dan kuat
C.     Asosiasi: dilakukan dengan cara mengintegrasikan pengetahuan baru dengan yang lama
D.    Generalisasi: hubungan pengetahuan baru dengan yang lama bertujuan membentuk sesuatu yang baru pula dalam benak anak-anak
E.     Aplikasi: pembentukan pengetahuan-pengetahuan baru itu perlu diuji atau dites untuk mengetahui apakah anak-anak sudah mampu mengaplikasikan pengetahuan itu atau belum.

2.3 Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125).
A.    Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Siva dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha Tunggal yaitu Tuhan , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardjo, 2012: 215).
Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yang sama yaitu pendidikan diarahkan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo, 217), juga mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik buruknya, hingga pencapaiannya.
Latar Belakang Sosial Budaya. Nenek moyang kita pada zaman ini umumnya tinggal di daerah subur dekat pesisir pantai. Mereka melakukan hubungan perdagangan dengan  orang-orang  dari India  yang singgah  dalam perjalanannya.  Hubungan  dagang semakin  lama  semakin  meningkat.  Seiring  dengan  itu  ke  dalam  masyarakat  kita masuklah kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang India. Antara lain  berupa bahasa, tulisan, agama, termasuk juga sistem pemerintahan yang berlaku di India.
Masuknya pengaruh kebudayaan tersebut di atas telah menimbulkan perubahan keadaan sosial-budaya  masyarakat setempat. Para ketua adat di negeri kita zaman itu lambat  laun  berusaha  menyamai  raja  di  India.             Diantara  para  ketua  adat  ada            yang dinobatkan  atau  menobatkan  diri  menjadi  raja-raja  lokal.  Struktur  sosial  yang  pada awalnya  bersifat  egaliter  (tidak  mengenal  stratifikasi  sosial  yang  tegas)  juga  turut berubah. Maka timbullah dua golongan manusia, yaitu: golongan yang dijamin dan golongan yang menjamin. Raja dengan para pegawainya berstatus sebagai yang dijamin, sedangkan rakyat  jelata  berstatus  sebagai  yang  menjamin.  Sebagaimana  di  India, terdapat stratifikasi sosial berdasarkan  kasta, yakni: kasta Brahmana,  Ksatria, Waisa, Syudra,  dan  Paria.  Sekalipun  stratifikasi  sosial  semacam  itu      tidak  berlaku  secara menyeluruh dan tegas di dalam masyarakat kita (misal: bagi penganut animisme, dinamisme dan Budha yang juga telah ada saat itu),  namun  batas pemisah kelas sosial antara yang dijamin dan yang menjamin tampak jelas. Menurut para ahli, paling lambat pada abad ke 5 Masehi telah dimulailah zaman sejarah di negeri kita. Hal ini ditandai dengan ditemukannya tulisan tertua (tulisan huruf Palawa bahasa Sansekerta) oleh para ilmuwan sejarah di dekat Bogor dan Kutai.
            Pendidikan. Pendidikan  pada  zaman  ini,  selain  diselenggarakan   di  dalam keluarga dan didalam kehidupan keseharian masyarakat, juga  diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren. Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana. Terdapat tingkatan guru: pertama, guru (perguruan)  keraton, di sini yang menjadi murid-muridnya adalah para anak raja dan bangsawan;   kedua adalah guru (perguruan) pertapa, di sini yang menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Namun demikian para guru pertapa juga biasanya selektif dalam menerima seseorang untuk menjadi muridnya. Ini antara lain merupakan implikasi dari feodalisme yang berkembang saat itu. Pendidikan bersifat aristokratis, artinya masih terbatas hanya untuk minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan Ksatria, belum menjangkau masyarakat mayoritas, yaitu anak-anak kasta Waisya dan Syudra, apalagi bagi anak-anak dari kasta Paria. Pada zaman ini pengelolaan pendidikan  bersifat otonom, artinya para pemimpin pemerintahan (para raja) tidak turut campur mengenai pengelolaan pendidikan,  pengelolaan  pendidikan bersifat otonom di tangan para guru atau pandita.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah agar para peserta dididik menjadi penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat yang berlaku saat itu, mampu membela diri dan membela negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk membaca dan menulis (huruf Palawa), kesusasteraan,   keterampilan   memahat   atau   membuat   candi,   dan   bela   diri   (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga pendidikannya (perguruan), maka  metode atau cara-cara pendidikannya pun adalah Sistem Guru Kula. Dalam sistem ini murid tinggal bersama guru di rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
Pada zaman berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan Sriwijaya (di Palembang),             telah  terdapat  Perguruan  Tinggi  Budha”.  Selain  dari dalam  negeri sendiri, murid-muridnya juga berasal dari Tiongkok, Jepang, dan Indocina. Darmapala sangat terkenal sebagai maha guru Budha. Perguruan-perguruan             Budha menyebar ke seluruh wilayah  kekuasaan  Sriwijaya.  Mungkin  sekali candi Borobudur,  Mendut, dan Kalasan merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha. Perhatikan hasil sastra yang ditulis para empu (pujangga) yang bermutu tinggi. Contoh: Pararaton, Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda. Para pujangga yang terkenal antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Panuluh, dan Empu Prapanca (Idit suhendi, dkk, 1991).
B.     Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Agama Islam  mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan agama Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan dari pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Mudyahardjo.: 121-223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.
Latar Belakang Sosial Budaya. Nusantara memiliki letak yang strategis dalam rangka  pelayaran  dan  perdagangan.  Ke  negeri  kita  berdatangan  pula  para saudagar beragama Islam. Melalui mereka para raja dan masyarakat pesisir memeluk agama Islam. Pada pertengahan abad ke-14, kota Bandar Malaka ramai dikunjungi para saudagar dari Asia Barat dan Jawa (Majapahit). Melalui para saudagar dari Jawa yang masuk memeluk agama Islam, maka tersebarlah Islam ke pulau Jawa. Dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa Anda juga mungkin masih ingat akan jasa para wali yang dikenal sebagai Wali Sanga. Akhirnya berdirilah kerajan-kerajaan Islam.
Pemerintahan  pada zaman ini dipimpin oleh raja. Di dalam wilayah  kerajaan- kerajaan Islam umumnya masyarakat tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Sesuai ajaran Islam, masyarakat tidak membedakan manusia berdasarkan keturunan atau kasta. Sekalipun zaman ini masih tetap terdapat kelompok raja dan para bangsawan/para pegawai  di  satu  pihak,  dan  terdapat  kelompok  rakyat  jelata  di  pihak  lain,  namun feodalisme di kalangan masyarakat pada umumnya mulai ditinggalkan.
Pendidikan.  Tujuan  pendidikan  pada  zaman  kerajaan  Islam  diarahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah S.W.T., sehingga mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui iman, ilmu dan amal”. Selain berlangsung di dalam keluarga, pendidikan berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti: di langgar-langgar, mesjid, dan pesantren. Lembaga perguruan atau pesantren yang sudah ada sejak zaman Hindu- Budha   dilanjutkan   oleh   para   wali,   ustadz,   dan   atau   ulama   Islam.   Kurikulum pendidikannya  tidak  tertulis  (tidak  ada  kurikulum  formal).  Pendidikan  berisi  tentang tauhid (pendidikan keimanan terhadap Allah S.W.T.), Al-Qur’an, hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis huruf Arab.
Pendidikan adalah hak semua orang, bahkan semua orang wajib mencari ilmu, mendidik diri  atau belajar. Pendidikan pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan dikelola oleh para ulama, ustadz atau guru. Raja tidak ikut campur dalam pengelolaan pendidikan (pengelolaan pendidikanbersifat otonom).
Metode atau cara-cara pendidikan. Pendidikan dilakukan dengan metode yang bervariasi,  tergantung  dengan  sifat  materi  pendidikan,  tujuan,  dan  peserta  didiknya. Contoh metode yang sering digunakan  adalah: ceramah atau tabligh (wetonan) untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) biasanya dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar individual).  Dalam metode sorogan  walaupun para santri bersama-sama dalam satu ruangan, tetapi mereka belajar dan  diajar  oleh  ustadz  secara  individual.  Cara-cara  belajar  dilakukan  pula  melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para pandita Hindu-Budha, hanya saja isi ajarannya diganti dengan ajaran  yang  Islami.  Demikian  pula  dalam  sistem  pesantren  atau  pondok  asrama.  Di langgar atau surau, selain melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al- Qur’an dan materi pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun  materi pendidikan yang lebih luas dan mendalam dipelajari di pesantren.

C.     Zaman Pengaruh Portugis dan Spanyol.
Latar Belakang Sosial-Budaya. Pada awal abad ke 16 ke negeri kita datanglah bangsa Portugis, kemudian disusul oleh bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang kedatangan  mereka juga  disertai oleh missionaris  yang bertugas  menyebarkan  agama Katholik. Pada akhir abad ke-16 mereka meninggalkan negeri ini karena sering mendapat pemberontakan terutama dari Sultan Ternate, karena perdagangan rempah-rempah sudah tidak menguntungkan lagi, dan karena kalah dalam peperangan melawan Belanda.
Pendidikan. Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik. Demi kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (Seminarie) di Ternate, selain itu didirikan pula di Solor. Kurikulum   pendidikannya   berisi   pendidikan   agama   Katolik,   ditambah   pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat terkemuka.  Pendidikan  yang  lebih  tinggi  diselenggarakan  di  Gowa,  pusat  kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-pemuda  yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Pada tahun 1546, di Ambon telah ada tujuh kampung yang penduduknya  memeluk agama Nasrani Katolik.

D.    Zaman Kolonial Belanda
Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan, gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada sat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Tiga poin utama dalam politik etis Belnada pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin eduksi, peerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sarana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis.
Pada masa ini pula, pendidikan pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:
1)      System pendidikan dari masa islam yang diwakili dengan pondok pesantren
2)      Pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda
3)      Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan.
Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).
Latar Belakang Sosial Budaya. Pada tahun 1596 bangsa Belanda telah datang ke negeri kita. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk berdagang. Pada tahun 1602 mereka mendirikan  VOC.  Karena  VOC  merupakan  badan  perdagangan  milik  orang-orang Belanda yang beragama Protestan, maka selain berupaya menguasai daerah untuk berdagang,   juga  untuk  menyebarkan   agama  Protestan.   Kekuasaan   VOC  akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri Belanda, karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah Kolonial Belanda.
Karaketristik  kondisi    sosial  budaya   pada  zaman  ini  antara lain: (1) berlangsungnya kolonialisme, (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia, (3) terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa dengan urutan dari lapisan tertingi s.d. terbawah sebagai berikut: bangsa Belanda, golongan orang Timur Asing, golongan Priyayi/Bangsawan Pribumi, dan golongan Rakyat Jelata Pribumi.
Sejak berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita ditindas dan diadu domba, kekuasaan  para  raja dirampasnya,          dan  kekayaan  alam Indonesia diangkutnya. Sesungguhnya bangsa Indonesia terus berjuang melawan penjajahan ini, perlawanan dan pemberontakan  dilakukan  oleh  berbagai  kelompok  bangsa  kita di berbagai  daerah  di tanah air. Penjajahan yang telah berlangsung lama benar-benar telah mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan mengakibatkan  kemelaratan serta kebodohan. Seiring perjuangan bangsa yang tak pernah padam, pada awal abad ke-20 muncul  tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Dengan semakin sadarnya bangsa Indonesia akan makna nasionalisme dan kemerdekaan, pada awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah berbagai  pergerakan.  Pergerakan  nasional  berlangsung  dalam  jalur  politik  maupunpendidikan. Coba Anda urai kembali sejarah berbagai perkumpulan atau organisasi pergerakan  nasional  beserta  usaha-usahanya  yang timbul  sejak  Kebangkitan  Nasional tahun 1908 sebagaimana telah Anda pelajari di SMP dan SMA.
Pendidikan. Implikasi  dari  kondisi  politik,  ekonomi,  dan  sosial-budaya  di Indonesia pada zaman ini, secara umum dapat   dibedakan   dua garis penyelenggaraan pendidikan, yaitu: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda; Kedua, pendidikan   yang diselenggarakan oleh  rakyat  dan Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan demi merebut kembali kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional. Berikut ini mari kita kaji kondisi pendidikan  yang diselenggarakan  oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
a)      Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan  di bawah  kekuasaan  kolonial  Belanda  diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC. VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk  misi  keagamaan  (Protestan),  bukan  untuk  misi  intelektualitas,  adapun  tujuan lainnya adalah untuk  menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja.   Sekolah-sekolah   utamanya   didirikan   di   daerah-daerah   yang   penduduknya memeluk  Katholik  yang  telah  disebarkan  oleh  bangsa  Portugis.         Sekolah  pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum   pendidikannya   berisi   pelajaran   agama   Protestan,   membaca   dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama pendidikannya  pun tidak ditentukan  dengan pasti. Murid-muridnya  berasal dari anak- anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka  yang sebelumnya telah dididik di Belanda.
Selama kira-kira   200   tahun   berkuasa   di   negeri   kita,   pendidikan   yang dilaksanakan VOC benar-benar sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah VOC adalah sbb: Batavia 639 orang, pantai utara Jawa 327 orang, Makasar 50 orang, Timor, 593 orang, Sumatera barat 37 orang, Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966 orang (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976).

b)      Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagai  kelanjutan  dari  zaman  VOC,  pendidikan  pada  zaman  pemerintahan kolonial  Belanda  pun  mengecewakan   bangsa  Indonesia.   Kebijakan         dan  praktek pendidikan pada zama ini antara lain:
1)      Tahun 1808 Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan agar para bupati di Pulau Jawa  menyebarkan  pendidikan  bagi  kalangan  rakyat,  tetapi  kebijakan  ini  tidak terwujud.
2)      Tahun 1811-1816 ketika pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat juga diabaikan.
3)      Tahun 1816  Komisaris  Jenderal  C.G.C. Reindwardt  menghasilkan  Undang-undang Pengajaran   yang   dianggap   sebagai   dasar   pendirian   sekolah,   tetapi   Peraturan Pemerintah yang menyertainya yang dikeluarkan tahun1818 tidak sedikit pun menyangkut perluasan pendidikan bagi rakyat Indonesia, melainkan hanya berkenaan dengan pendidikan bagi orang-orang Belanda dan golongan Pribumi penganut Protestan.
4)      Selanjutnya, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch dikeluarkan kebijakan Culturstelsel (Tanam Paksa) demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Belanda. Karena untuk hal ini dibutuhkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang banyak, maka tahun 1848 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk menggunakan dana  anggaran  belanja  negara  sebesar  f  25.000  tiap  tahunnya  untuk  mendirikan sekolah-sekolah di Pulau Jawa dengan tujuan mengahasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan. Pada tahun 1849-1852 didirikan 20 sekolah  (di tiap keresidenan). Namun sekolah             ini         hanya   diperuntukan     bagi          anak-anak Pribumi golongan priyayi/bangsawan,  sedangkan    anak-anak rakyat jelata tidak diperkenankan. Penyelenggaraan pendidikan bagi kalangan bumi putera yang dicanangkan sejak 1848 mengalami hambatan karena kekurangan guru dan mengenai bahasa pengantarnya. Maka   pada  tahun  1852   didirikanlah   Kweekschool   (sekolah   guru)   pertama   di Surakarta, dan menyusul di kota-kota lainnya. Sekolah ini pun hanyalah untuk anak- anak golongan priyayi.
5)      Pada tahun 1863 dan 1864 keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi pun boleh diterima bekerja untuk pegawai rendahan dan pegawai menengah di kantor- kantor dengan syarat dapat lulus ujian. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh putusan Raja pada tgl.  10  September  1864.  Demi  kepentingan  itu  di  Batavia  didirikanlah  semacam sekolah menengah yang disempurnakan menjadi HBS (Hogere Burger School).
6)      Tahun 1867 didirikan Departemen Pengajaran Ibadat dan Kerajinan.
7)      Tahun 1870 UU Agraris dari De Waal yang memberikan kesempatan kepada pihak partikelir   untuk    melaksanakan   usaha    di          bidang pertanian          mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan pegawai. Hal ini berimplikasi pada perluasan sekolah.
8)      Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera, yaitu Sekolah Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata.
9)      Setelah dilaksanakannya Politik Etis, pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz mengeluarkan  kebijakan  tentang  pendidikan  Bumi  Putera:  pertama,  mendirikan Sekolah Desa yang diselenggarakan oleh Desa, bukan oleh Gubernemen. Biaya dsb. menjadi tanggung jawab pemerintah desa; kedua, memberi corak sifat ke-Belanda-an pada  Sekolah  Kelas  I.  Maka  tahun  1914  Sekolah  Kelas  I  diubah  menjadi  HIS (Holands  Inlandse  School)    6  tahun  dengan  bahasa  pengantar  bahasa  Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang didirikan mulai tahun 1907. Akibat dari hal ini, maka anak-anak pribumi  mengalami  perpecahan, golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.
10)  Pada tahun 1930-an usaha perluasan pendidikan bagi Bumi Putera mengalami hambatan. Surat Menteri Kolonial Belanda Colijn kepada Gubernur Jenderal de Jonge pada 10 Oktober 1930 menyatakan bahwa perluasan sekolah negeri jajahan terutama untuk kaum Bumi Putera akan sulit karena kekurangan dana.
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, betapa kecilnya usaha-usaha pendidikan  bagi  kalangan  Bumi  Putera.  Sampai  akhir  tahun  1940  jumlah  penduduk bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan  yang bersekolah hanya 3,32%. Ciri-ciri   pendidikan.   Ciri-ciri   pendidikan   zaman   ini   antara   lain:   pertama, minimnya  partisipasi  pendidikan  bagi  kalangan  Bumi  Putera,  pendidikan  umumnya hanya  diperuntukan  bagi  bangsa  Belanda  dan  anak-anak  bumi  putera  dari  golongan priyayi;  kedua,         pendidikan  bertujuan  untuk  menghasilkan  tenaga  kerja  murah  atau pegawai rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan  lima ciri pendidikan zaman kolonial Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera; 2) Sistem Konkordansi, yaitu  pendidikan  di  daerah  jajahan  diarahkan  dan  dipolakan  menurut  pendidikan  di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek merugikan dalam  hal  pembentukan  jiwa  kaum  Bumi  Putera  yang  asing  dengan  budaya  dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda; 4) Menghambat gerakan nasional; dan 5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional (kemerdekaan).

E.     Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia.
Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).

2.3.1 Landasan Sejarah Pendidikan Di Masa Perjuangan Bangsa Indonesia, Masa Pembangunan Dan Masa Reformasi.

2.3.1.1 Masa Perjuangan.
a. Zaman Kolonial Belanda
Didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan diberbagai bidang, Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat Indonesia dengan tujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri maupun swasta. Adapun kecenderungan pendidikan masa kolonial ini adalah:1) membiarkan terselengarakannya pendidikan islam tradisional serta membantu mendirikan madrasah Islam di Nusantara, 2) mendirikan sekolah Zending (mizionaris) yang bertujuan menyebarkan agama kristen. Adapun ciri khas pendidikannya antara lain: 1) dualistik diskriminatif, 2) sentralistik, 3) tujuan pendidikan untuk menghasilkan tamatan sebagai warga negara Belanda kelas dua.
Kurikulum sekolah mengalami radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Pda tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids, Ia menganjurkan agar pemerintah lebih memajukan kesejahterran rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis. Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang orang tuanta adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru. Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.


b. Zaman Kolonial Jepang
Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 yang pada masa itu sedang terjadi Perang Dunia sehingga berimbas pada pemerintahan Jepang yang bersifat militeristik. Dalam misinya menguasai Indonesia, Jepang banyak melakukan perubahan. Termasuk dibidang pendidikan, penyelenggaraannya ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang. Selain itu, di bidang pendidikan secara luas ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia antara lain: a) Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang, b) pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstrusikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahas Jepang sebagai bahasa kedua sedang bahasa Belanda dilarang, c) Jepang mendirikan sekolah guru dengan sistem pembinaan indoktrinasi mental ideologis, d) pembinaan murid dan para pemuda dilakukan dengan senam pagi (taiso).

c. Zaman Kemerdekaan
Meski belum mencapai suasana kondusif dalam kehidupan pemerintahannya, akan tetapi dalam bidang pendidikan pada awal kemerdekaan ini terus dilaksanakan dengan berpedoman pada UUD1945 pasal 31. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan pada era 1945-1950 yaitu :
Ø  Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia mengusulkan perlunya pembaharuan di bidang pendidikan
Ø  Pembentukan pendidikan masyarakat yang bertujuan membangun masyarakat adil dan makmur berdasar pancasila.
Ø  Pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran
Ø  Menetapkan kurikulum awal sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan
Ø  Pembaharuan kurikulum menjadi kurikulum SR 947

2.3.1.2 Masa Pembangunan
Dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol, melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional dipandang sebagai alat revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus memiliki Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu: (1) Membina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi (Moral Pancasila), (2) Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya (manpower), (3) Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional, (4) Memajukan dan mengembangkan ilmu engetahuan dan teknlogi, (5) Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun masyarakat dan manusia Indonesia baru. Selanjutnya dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto Politik. Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antra lain dirumuskan kembali mengenai dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik dalam rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia ialah menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.
Banyak progam pembangunan yang telah direncanakan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana Thap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan di bidang pendidikan antara lain berkenaan pengembangan pendidikan tinggi,diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus dan sebagainya. Namun demikian akibat pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka rontoklah rencana pembangunan nasional semesta berencana tersebut. Setelah pemberontakan G30S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan masyarakat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)
Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun suatu prioritas pemecahn dari berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya. Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, 2) pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan, dan 5) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan pokok tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan dan disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan sejak tahun 1950.
Kurikulum Pendidikan dalam PJP I telah dilakukan tiga kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu dikenal sebagai: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan juga ditingkatkan mutu pendidikannya terutama mutu guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan brbagai usah untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui dan pinjaman dari ADB juga bantuan dari negara-negar sahabat.

2.3.1.3 Masa Reformasi
Selama Orde Baru berlansung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka ingunkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Maraknya gerakan reformasi menyebabka tumbangnya kekuasaan orde baru. Implikasi dari peristiwa itu dapat dirasakan pada seluruh aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pendidikan. Dengan di berlakukannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 maka sistem penyelengaraan pendidikan berubah ke otonomi pendidikan. Desentralisasi kekuasaan yang menitik beratkan pada partisipasi rakyat menuntut tersedianya tenaga-tenaga terampil dalam jumlah dan kualitas yang tnggi serta pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di daerah termasuk dalm bidang pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan di daerah akan memberikan implikasi langsung dalam penyusunan kurikulum yang dewasa ini sangat sentalistis.
Disamping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasi Sekolah), Life Skill (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total QualityManajement).

2.3.1.4 Implikasi Landasan Sejarah Pendidikan Terhadap Pendidikan.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita pada masa kini. Sistem pendidikan yang kita terapkan masa kini adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa lampau. Hal ini sudah terbukti dengan adanya kemajuan perkembangan dalam segala bidang, misalnya; ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Berikut pembahasan tetntang implikasi landasan sejarah terhadap konsep pendidikan ;
A.    Tujuan pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik. Serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk pengembangkan segala aspek pribadi yang terdapat dalam individu peserta didik, baik dalam aspek keagamaan ataupun kemandirian. Dengan mengetahui landasan sejarah pendidikan kita dapat mengetahui betapa pentingnya konsep tujuan dari pendidikan yang seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
B.     Proses Pendidikan terutama proses belajar- mengajar dan materi pelajaran harus disesuaikan denagn tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siwa dalam pembelajaran, menegmbangkan pelajaran dalam lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serat
C.     Kebudayaan nasional, Sejarah membawa perubahan kebudayaan. Dari zaman dahulu dahulu sampai saat ini, adanya perubahan budaya karena pengalaman sejarah melalui penemuan baru, pertukaran budaya akibat penjajahan bangsa asing sehingga sejarah membawa dampak perubahan peradaban kebudayaan melalui peranan pendidikan.Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Pidarta (2008:149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
D.    Inovasi-inovasi Pendidikan. Inovasi-inovasi harus berumber dari hasil hasil penelitian pendidikan di indonesia, sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan indonesia.
























BAB III
PENUTUPAN

3.1     Kesimpulan.
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan histori kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa sejarah sangatlah penting untuk diketahui apalagi sejarah pendidikan indonesia dari perjuangan para tokoh pendidikan di indonesia serta peran pemerintah untuk mengembangkan dunia pendidikan.Yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia adalah semua pengalaman dan pandangan masa lalu bangsa Indonesia yang dapat dijadikan cerminan untuk perbaikan dalam dunia pendidikan di masa depan.Pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal,perantara,dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.















DAFTAR PUSTAKA

Winarno, Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta.
Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar