Sabtu, 13 Mei 2017

Pendidikan Agama Hindu dalam Membangun Basis Kepribadian Humanisme



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Sebagaimana diketahui bahwa yang hendak dituju oleh pendidikan agama Hindu ialah pendidikan yang menuju kepada pembentukan manusia seutuhnya, yaitu sehat dan sejahtera lahir batin, atau pencapaian kondisi yang serasi, selaras, seimbang, dan harmonis antara jasmani dan rohani, lahir dan batin serta dunia dan akhirat, yang di dalam agama Hindu disebut moksartham jagadhita. Tujuan pendidikan mengacu juga kepada tujuan politik ideologi bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, yaitu pendidikan yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Fungsinya adalah mengembangkan kemajuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
Sedangkan tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Rumusan ini merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Tilaar, 2003:161). Dengan demikian, masyarakat modern adalah masyarakat yang mengacu pada kualitas dalam segala aspek kehidupan, yaitu kualitas yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan hal itu juga, pendidikan Agama Hindu dalam mendukung tujuan nasional hendaknya memperioritaskan kepada peningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri sejalan dengan paradigma pendidikan masa depan. Pemberian prioritas ini sangat berkaitan dengan peningkatan kualitas sistem pendidikan itu sendiri dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan minat, bakat dan potensinya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan landasan utama bagi tumbuhnya tingkat pengetahuan dan penghayatan serta rasa keagamaan yang mantap. Usaha ini tentu saja harus mendapat perhatian utama dalam dunia pendidikan yang dilandasi oleh ajaran agama sebagaimana dinyatakan dalam kitab Veda.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah esensi dan urgensi Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme ?
2.      Bagaimanakah pentingnya Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme ?
3.      Bagaimanakah tantangan Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme ?

1.3  Manfaat dan Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat ditarik manfaat dan tujuan penulisan sebagai berikut:
  1. Mengetahui esensi dan urgensi Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme.
  2. Mengetahui pentingnya Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme.
  3. Mengetahui tantangan Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Esensi dan urgensi Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme
Pendidikan agama Hindu memiliki fungsi sebagai motivator dan dinamisator yang dapat mendorong kreativitas mahasiswa untuk berbuat baik dan benar dalam mencapai tujuan hidup, sebagaimana dirumuskan di dalam Veda yaitu moksartham jagadhitaya ca iti dharma, yang artinya bahwa dengan memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Hindu, maka tujuan hidup yaitu sejahtera lahir dan batin, dunia dan akhirat akan tercapai. Karena demikian maka esensi dan urgensi peran pendidikan agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi dapat dikatakan bahwa betapa besar fungsi agama Hindu ini dalam membangun karakter anak bangsa, terutama dari segi etika, moral dan spiritualnya, yang dikembangkan dalam sikap hidup kesehariannya, sehingga tujuan hidupnya tercapai. Pembelajaran pendidikan agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi, para mahasiswa perlu didorong untuk selalu meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agamanya, sehingga mereka mampu mewujudkan tujuan hidupnya, yaitu hidup sejahtera, rukun, damai dan bahagia. Pembelajaran pendidikan agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi memiliki landasan historis, sosiologis, politik dan filosofis.
Secara historis, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu sebelum adanya sekolah-sekolah formal, pendidikan agama Hindu dilaksanakan di pasraman-pasraman (ashram-ashram), di pedepokan-pedepokan, dan di tempat-tempat suci (Pura) di seluruh Indonesia. Pada masa pra penjajahan, pendidikan agama Hindu ini ditangani oleh gurutiga yang juga tri tunggal, yaitu guru wisesa (kepala pemerintahan atau raja), guru pengajian, yaitu guru yang berwenang memberikan tuntunan dalam kehidupan spiritual, susila, dan acara keagamaan (bhagavanta, bhagavan, pasiwan atau pasurya); dan guru rupaka, guru yang berwenang mengarahkan pendidikan dalam keluarga. Dengan datangnya sistem pendidikan sekolah (formal) yang dibawa oleh para penjajah maka pendidikan agama juga diadakan di sekolah-sekolah di samping di ashram-ashram. Sistem pendidikan ashram atau pasraman ini berkembang sampai sekarang, sebagai tempat untuk lebih memperkaya atau memperdalam pemahaman dan penguasaan ajaran agama Hindu. Pendidikan melalui ashram ini pada awalnya banyak berkembang di Bali dan Nusa Tenggara Barat, dan setelah itu berkembang juga di daerah-daerah lain di Indonesia, baik formal maupun non formal.
Sesuai dengan kodratnya, manusia dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari empat unsur yang selalu menyertainya, yaitu sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk alam, makhluk individu dan sebagai makhluk sosial (Sanjaya, 2002: 26). Empat bentuk kodrat ini diharapkan berjalan secara seimbang tanpa ada yang mendominasi agar manusia dapat mencapai tujuan hidup. Agama Hindu dengan konsep keseimbangan (swastika), menganjurkan manusia agar selalu menjaga keharmonisan hubungannya, baik secara vertikal (sebagai makhluk Tuhan dan makhluk alam), maupun secara horizontal (sebagai makhluk individu dan makhluk sosial), sehingga roda kehidupan dapat berputar secara seimbang dan harmoni.
Secara politis, proses pembelajaran agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi sangat berkaitan dengan proses pembentukan nilai-nilai keagamaan kepada mahasiswa, yang harus dapat diwujudkan ke dalam bentuk pola perilaku dan pola pikir. Kreativitas berpikir menjadi bekal utama dan sangat menentukan kehandalan menghadapi perubahan. Bukankah dalam hidup mesti berpikir, karena dengan pikiran dapat menyiasati masalah-masalah kehidupan ini. Manusia dikatakan sebagai makhluk utama karena mampu berpikir, memiliki akal dan budhi dan mampu meningkatkan kualitas dirinya. Pikiran merupakan sumber dari segala sumber baik dan buruknya kata-kata maupun perbuatan. Agama telah mengajarkan fakta tersebut beribu-ribu tahun lalu. Maitri Upanisad IV.34 menjelaskan tentang apa yang dipikirkan manusia begitulah yang terjadi. Dengan demikian secara filosofi bisa dipahami mengapa makhluk-makhluk berpikir pertama yang muncul diawal peradaban disebut manu. Produk-produk pikiran mereka menciptakan nilai-nilai kemanusian dan menjadi dasar peradaban.
Melalui pendidikan agama Hindu ini, perlu dibangun karakter mahasiswa yang berperadaban menuju sumber daya manusia yang memiliki kepribadian berkualitas dan berdaya saing yang unggul. Pembentukan karakter ke arah itu menuju ke arah kepribadian kerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berwawasan jauh ke depan, bersahaja, bersikap konstruktif, bersemangat, pandai bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai waktu, pemaaf, memurah, pengabdi, pengendalian diri, produktif, rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet (Titib, 2004: 34).
Proses pembelajaran pendidikan agama Hindu di Perguruan Tinggi perlu juga diarahkan kepada peningkatan kepercayaan dan ketakwaan mahasiswa kepada Tuhan Yang Maha Esa, peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama yang dianut, serta meningkatkan kerukunan hidup umat beragama, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kerukunan hidup beragama yang harus ditingkatkan adalah kerukunan intern umat beragama (kerukunan family, kerukunan territorial, kerukunan fungsional, kerukunan universal), kerukunan antar umat yang berbeda agama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah (Wiana, 1997: 78).

Pendidikan agama Hindu di Perguruan Tinggi yang penyelenggaraannya didasarkan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mampu memberikan kontribusi yang positif dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional, terutama dalam peningkatan etika, moral dan spiritual serta mencerdaskan anak bangsa.
2.2 Pentingnya Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme
Mata kuliah pendidikan agama Hindu memegang peranan penting dan harus diberikan kepada para mahasiswa di bangku kuliah untuk menumbuhkan sikap hidup yang selaras, serasi dan seimbang, baik secara lahir dan batin, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, maupun secara individu dan sosial. Prakarsa untuk melaksanakan pendidikan Agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi memiliki landasan historis, sosiologis, politik dan filosofis. Secara historis penyelenggaraan pendidikan agama Hindu sejak awalnya dilaksanakan secara non formal. Seiring dengan tuntutan tujuan pembangunan nasional terutama dalam peningkatan kualitas etika, moral, dan spritual serta membangun peradaban bangsa, maka secara berangsur-angsur pendidikan agama Hindu diselenggarakan secara formal, di samping secara non formal dan informal.
Demikian pula dalam menggali landasan politis, pendidikan agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi, diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas anak bangsa yang handal, mandiri dan mampu bersaing secara global. Karakter manusia yang dibangun melalui pendidikan agama Hindu di tingkat pendidikan tinggi, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan sraddha dan bhakti (iman dan takwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan, mengembangkan kemampuan, membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Secara sosiologis, pendidikan agama Hindu yang mengarah kepada pembentukan kepribadian mahasiswa diarahkan pada penumbuhan kesadarannya, bahwa secara kodrati hidup manusia tidak bisa lepas dari aspek-aspek baik sebagai makhluk Tuhan, makhluk alam, makhluk individu, dan makhluk sosial. Terhadap keempat aspek inilah, manusia harus hidup dan mampu mengembangkan diri yang selaras, serasi dan seimbang serta harmonis. Karena dengan itu, manusia akan mampu mencapai tujuan hidup. Selanjutnya, dari aspek filosofis, pendidikan agama Hindu mendasarkan pada peningkatan kualitas hakikat hidup manusia itu sendiri, yang intinya menjelma ke dunia adalah dalam rangka meningkatkan kualitas jati dirinya, dengan jalan berbuat baik (dharma).
Tujuan hidup manusia menurut agama Hindu adalah luhur dan mulia, yaitu membebaskan diri dari belenggu kehidupan yang dianggap maya. Melalui pendidikan agama, manusia akan mampu meningkatkan kesadaran dirinya dan membebaskannya dari belenggu itu. Atas dasar itulah, maka pendidikan agama Hindu utamanya pada tingkat pendidikan tinggi harus diberikan. Tujuannya adalah agar para mahasiswa memiliki pemahaman, dan penghayatan agama yang baik dan benar yang harus diaplikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Diyakini bahwa dengan agama Hindu maka tujuan hidup akan tercapai.
Untuk itu, di tingkat pendidikan tinggi, agama Hindu tidak cukup hanya dipelajari sebagai pengetahuan atau pemahaman saja, akan tetapi harus diamalkan oleh setiap mahasiswa, sehingga para mahasiswa benar-benar dapat mencerminkan suatu kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian yang dilandasi dan dijiwai oleh ajaran agama. Para mahasiswa dituntut untuk senantiasa bersikap dan berbuat sesuai dengan ajaran agama, dan memiliki sifat, sikap dan budi pekerti yang luhur serta berkepribadian mulia yang dicerminkan dalam kehidupannya, baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mahasiswa harus menyadari, akan pentingnya pendidikan Agama Hindu bagi dirinya, karena pendidikan agama berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti dan kepribadiannya.. Itulah sebabnya pendidikan agama benar-benar urgen dan perlu dipelajari sedini mungkin, sejak sekolah dasar sampai pada tingkat pendidikan tinggi untuk membangun dan mengembangkan kepribadian yang luhur. Pendidikan agama harus ditumbuhkembangkan di bangku kuliah. Bagi mahasiswa diharapkan dapat menjadi suri teladan dalam pelaksanaan dan pengamalan ajaran agama pada kehidupan sehari-harinya. Intinya, mahasiswa diharapkan benar-benar menjadi orang yang beragama, dapat hidup tentram dan bahagia yang didasari dan dilandasi sraddha dan bhakti (keimanan dan ketakwaan) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara historis, perkembangan agama Hindu pada awalnya dilaksanakan secara tradisional melalui pendidikan pasraman. Penerapan pendidikan, sebelum mulai belajar, maka diawali dengan suatu upacara keagamaan yang disebut upacara upanyana, dimana seorang guru atau nabe meletakkan telapak tangannya pada ubun-ubun seorang murid atau sisya sebagai simbol pencurahan seluruh personalite kepada sisya (murid/siswa). Azas pendidikannya bersifat kekeluargaan. Pencurahan kasih sayang antara Acharya dengan sisya sudah melekat, bagaikan anak dengan orang tua. Batasan umur sisya, tidak merupakan kriteria yang kaku. Setiap orang pada dasarnya dapat masuk pada waktu yang dianggap baik untuk memulai masuk sekolah. Sisya (murid) diharuskan mengikuti dan mentaati peraturan yang berlaku.
Perkembangan pendidikan Hindu selanjutnya mengikuti gerak situasi perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia, baik pada masa kerajaan, masa penjajahan, maupun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Seterusnya sampai pada zaman modern ini. Pendidikan agama Hindu menganut konsep trisentra pendidikan, yaitu pendidikan keluarga (guru rupaka) sebagai pendidikan informal, pendidikan di sekolah (guru pengajian) sebagai pendidikan formal, dan pendidikan masyarakat atau pemerintah (guru wisesa) sebagai pendidikan non formal. Pelaksanaan pendidikan secara non formal disebut dengan pasraman, sedangkan pelaksanaan pendidikan formal dapat dilakukan di sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta.

2.3 Tantangan Pendidikan Agama Hindu dalam membangun kepribadian humanisme
Di era demokrasi ini tantangan dalam dunia pendidikan sangat besar, terutama bagi profesi pendidik. Dengan adanya situasi masyarakat yang lebih demokratis, sistem pendidikan mengalami perubahan. Model pendekatan yang sebelumnya cenderung sangat otoriter, dengan asumsi bahwa pendidik tahu segala-galanya, tampaknya tidak mungkin diberlakukan lagi. Pendekatan pendidikan dewasa ini diharapkan lebih demokratis. Pendidikan adalah suatu proses, yaitu proses dalam membentuk manusia Indonesia yang memiliki kepribadian utuh, yaitu utuh secara lahir dan batin, atau utuh secara jasmani dan rohani.
Pendidikan sangat berkaitan dengan pembangunan nasional yang diarahkan kepada terbinanya manusia Indonesia seutuhnya. Acuan normatif terhadap arah pembangunan ini, menggambarkan cita-cita yang ingin dicapai bangsa Indonesia melalui pembangunan nasional yang relevan dengan kerangka budaya dan sistem nilai bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukankah konsep manusia seutuhnya mengandung pengertian bahwa manusia adalah sosok makhluk Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan alam, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan serta keyakinan terhadap ajaran agama.
Kesadaran akan nilai-nilai keagamaan yang tinggi di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Nilai-nilai keagamaannya itu sedapat mungkin tercermin dalam sikap dan pola perilaku keagamaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam fungsinya, agama memberikan tuntunan terhadap semua perilaku dan tindakan kita. Sehubungan dengan pembinaan sumber daya manusia, khususnya terhadap para generasi muda, melalui pelaksanaan pendidikan di tingkat pendidikan tinggi ini dapat disampaikan dan ditanamkan pesan moral serta nilai-nilai yang berharga seperti kejujuran, sopan santun, kedisiplinan, kerja keras, kebersamaan, keikhlasan, kerukunan, persatuan dan kesatuan,nasionalisme, idealisme, patriotisme, kearifan lingkungan, integrasi bangsa, harmoni antara kewajiban dan hak, penegakan hukum yang berkeadilan, gender dan lain sebagainya.
Nilai-nilai keagamaan itu sangat perlu dikembangkan di dunia pendidikan. Pendidikan adalah proses membimbing kegiatan belajar atau menyampaikan pengetahuan kepada mahasiswa atau kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan di sekolah. Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang cakap, berbudaya, mandiri dan mampu mengembangkan sikap hidup bersama, serta mengubah tingkah laku peserta didik ke dalam hal-hal yang positif dan konstruktif (Sanjaya, 2002:27). Pesan dan nilai-nilai sosial keagamaan yang bisa disampaikan melalui proses pendidikan di tingkat pendidikan tinggi ini dapat mempengaruhi perbuatan dan perilaku mereka yang pada gilirannya bisa pula dijadikan pedoman atau acuan untuk menghadapi beragam persoalan yang muncul di lingkungan hidup kesehariannya.
Karena demikian, pendidikan ini merupakan sebuah proses pembinaan yang memiliki fungsi penting dalam upaya mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada para mahasiswa. Pendidikan merupakan proses pembelajaran kepada mahasiswa untuk mendewasakan dirinya dalam menjalankan hidup, dimana dalam hidup ini banyak kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi. Dengan pendidikan ini diharapkan para mahasiswa mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan menggunakan kemampuan logika yang tersusun secara sistematis dalam kerangka berpikir dengan menggunakan analitis, kreatif, dan inovatif. Di samping itu pendidikan yang diselenggarakan di tingkat pendidikan tinggi diharapkan mampu memainkan peran untuk dapat membentuk kepribadian manusia yang cerdas, intelektual, berbudi pekerti yang luhur dan berakhlak mulia serta memiliki sradha dan bhakti kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II pasal 3, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sinar Grafika, 2007: 6). Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, dan pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat sraddha dan bhakti (keimanan dan ketaqwaan) terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh para mahasiswa dan dengan memperhatikan juga tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan memelihara kerukunan antar umat beragama.



BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Pendidikan Agama Hindu dalam mendukung tujuan nasional hendaknya memperioritaskan kepada peningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri sejalan dengan paradigma pendidikan masa depan. Pemberian prioritas ini sangat berkaitan dengan peningkatan kualitas sistem pendidikan itu sendiri dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan minat, bakat dan potensinya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan landasan utama bagi tumbuhnya tingkat pengetahuan dan penghayatan serta rasa keagamaan yang mantap. Usaha ini tentu saja harus mendapat perhatian utama dalam dunia pendidikan yang dilandasi oleh ajaran agama sebagaimana dinyatakan dalam kitab Veda.
3.2  Saran
Mengingat pentingnya pendidikan Agama Hindu dalam mempermudah tujuan hidup, perlu adanya pemahaman serta realisasi ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab suci Agama Hindu yakni Weda.


Filsafat Pendidikan Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untukmemiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat bamgsa dan Negara.
Kajian-kajian pendidikan dilakukan oleh beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya adalah ahli filsafat, ahli agama, ahli sosiologi,dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan munculnya ilmu pengetahuan kependidikan, seperti ilmu filsafat pendidikan, ilmu sosiologi pendidikan dan lain sebagainya. Mengenai filsafat pendidikan, ini merupakansuatu cara pandang, tentang bagaimana cara pelaksanaan ataupun perbaikan proses pendidikan . Baik di tenaga pendidik, peserta didik, sampai sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilan suatu proses pendidikan.
Filsafat pendidikan tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia untuk meningkatkan dan memperbaiki proses dan mutu pendidikan. Menurut Mohammad Labib Al-Nijhi sebagaimana yang dikutip oleh Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktivitas pikiran yang teratur, menyelaraskan dan dan memadukan proses pendidikan. Masalah pendidikan tidak mungkin dianggap remeh begitu saja.Karena maju atau berkembangnya suatu Negara salah satunya dapat dilihat dari persentase jumlah warga Negara yang berpendidikan tinggi. Oleh  karena itu ditetapkannya wajib belajar 9 tahun oleh pemerintah pusat dan adanya Bantuan Oprasional Sekolah. Tentunya hal ini bertujuan agar semua lapisan masyarakan dapat “menyentuh” pendidikan.Akan tetapi, permasalahannya tidak dapat diselesaikan begitu saja.Pada kenyataannya masih banyak anak-anak dibawah umur yang tidak sekolah.Hal tersebutlah yang harus dipikirkan lebih mendalam, agar tercapai penyelesaiannya.

1.2  Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah yang timbul dari latar belakang masalah yang ada:
  1. Apakah hubungan filsafat dengan pendidikan?
  2. Bagaimanakah filsafat pendidikan itu?
  3. Bagaimanakah filsafat pendidikan Indonesia?

1.3  Manfaat dan Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat ditarik manfaat dan tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Mengetahui hubungan filsafat dengan pendidikan.
2.      Mengetahui filsafat pendidikan.
3.      Mengetahui filsafat pendidikan Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Hubungan Filsafat dengan Pendidikan
Seorang filosof Amerika John Dewey, yang dikutip kembali oleh Imam Barnadib, berpendapat bahwa hubungan filsafat dan pendidikan adalah suatu keharusan dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa filsafat itu adalah teori umum dari pendidikan, landasan semua pemikiran mengenai pendidikan.  Selain itu, filsafat menyelidiki faktor-faktor  realita serta pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan.
Hubungan filsafat dan pendidikan tampaknya tidak dapat dipisahkan lagi, karena kajian filsafat pendidikan harus menoleh kembali pada hakikat manusia sebagai makhlik ciptaan Tuhan. Pertanyaan yang mengarah pada pemikiran filsafat pendidikan yang menurun Jacques Maritain dikutip kembali oleh Jalaluddin, berawal dari, siapakah kita, dimana kita dan kemana kita akan pergi, dikaji dalam konteks penciptaannya. Ketiga pertanyaan sederhana itu dihubungkan dengan fungsi dan hakikat manisian sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa filosof pendidikan adalah seseorang yang menggunakan gaya filsafat dalam bidang pendidikan. Dia juga memiliki pandangan pendidikan yang jelas dan sejumlah prinsip dan keyakinan yang mempunyai nilai pelaksanaan dalam vidang pendidikan.Hubungan yang erat antara filosof umum dengan filisof pendidikan adalah pada hubungan yang erat antara filsafat umum dan filsafat pendidikan.
Filsafat  pendidikan adalah adalah poelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Filsafat tersebut mencerminkan pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam menyelesaikan masalah pendidikan secara praktis.
Menurut Asy-Syaibani, batasan-batasan hubungan antara filsafat umum dan filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
·         Filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan  yang disebut dengan pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur dan menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Filsafat pendidikan itu dapat menjelaskan nilai-nilai lain yang diusahakan untuk mencapainya. Maka filsafat, filsafat pendidikan dan pengalaman manusia adalah tiga unsure yang bersatu padu.
·         Batasan filsafat dengan pendidikan, bahwasannya pendidikan adalah aktivitas yanbg dilakukan oleh pendidik dan filosof-filosof untuk menerangkan, menyelaraskan, dan mengubah proses pendidikan selaras dengan masalah-masalah kebudayaan.
Dengan batasan tersebut meberikan gambaran bahwa dengan mempelajari filsafat pendidika, kita percaya bahwa kajian tersebutsangat penting untuk mengembangkan pandangan kita terhadap proses pendidikan. Disamping itu, penting untuk dapat memperbaiki keadaan pendidikan, persoalanpendidikan yang meliputi penilaian, metode, materi dan lain sebagainya.
Maka filsafat pendidikan yang baik, hendaknya member pedoman kepada perancang-perancang dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Menghubungkan usaha-usaha pendidikan mereka dengan filsafat umum untuk menyelesaikan dengan cepat dan tepat akan masalah-masalah pendidikan.

2.2 Filsafat Pendidikan
2.2.1 Pengertian Filsafat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

2.2.2 Subjek dan Objek Filsafat Pendidikan
Subjek filsafat pendidikan adalah seseorang yang berfikir atau memikirkan hakikat sesuatu dengan sungguh dan mendalam tentang bagaimana memperbaiki pendidikan. Sedangkan, objek filsafat dapat dibagi menjadi 2, yakni :
  1. Objek material, yaitu segala sesuatu yang realita, ada yang harus ada, dan yang tidak harus ada.
  2. Objek formal adalah bersifat mengasaskan  atau berprinsip, oleh karena itu mengkonstatiskan prinsip-prinsip kebenaran  dan tidak kebenaran.

2.2.3 Aliran-aliran filsafat pendidikan
Berikut adalah aliran-aliran filsafat pendidikan menurut tulisan Imam Bernadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan:
  1. Aliran Progresif
Secara umum progresif berpijak pada aliran pragmatis, yaitu aliran filsafat yang berpandang bahwa kebenaran segala sesuatu ada pada kegunaan praktisnya. Atas dasar pandangan pokoknya sebagaimana diatas, pragmatis memandang bahwa:
-          Realita bukanlah semesta atau ide yang bersifat abstrak, umum, tetap, melainkan merupakan sesuatu yang berupa proses , bukan tetap.
-          Hakikat sesuatu dipandang dari kegunaannya.
-          Tidak ada pengetahuan yang tetap, tetapi selalu berubah.
-          Manusia adalah penentu pengembeng pengetahuan itu.
Pandangan progresif tentang beberapa hal terkait pendidikan:
-          Pendidikan harus membawa kemajuan, tidak konservatif dan tidak otoriter.
-          Pendidikan harus memperhatikan kemampuan-kemampuan dasar manusia yang merupakan motor penggerak bagi kemajuan dirinya.
-          Ada ilmu-ilmu yang potensial untuk membantu p[emikiran dan praktik pendidikan, yaitu antropologi, biologi, psikologi dan ilmu alam.
-          Realita yang berupa ide dapat digunakan untuk kemajuaan.
-          Dalam mencari ilmu pengetahuan  lebih menekankan pada pendekatan induktif, rasional dan empirik.
-          Sesuai dengan filsafatnya yang empiric, progresivisme memandang nilaiatau norma bukan sebagai ide murni dan harus diuji secara empiric, yaitu dicocokkan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
-          Pandangannya tentang belajar progresivisme berpendapat bahwa peserta didik memiliki potensi yang berupa akal dan kecerdasan yang dapat digunakan untuk menghadapi lingkungannya dalam bentuk memecahkan berbagai masalah. Konsekuensinya tidak ada pemisahan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah juga harus mengembengkan kreativitas peserta didik.
-          Pandangaan progresivisme tentang kurikulum adalah bahwa kurukulum harus fleksibel, tidak bersifat universal, harus sesuai dengan kebutuhan setiap anak, serta sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan setempat. Kuriikulum harus dapat mengembangkan intelek, emosi, motorik,dan social peserta didik secara utuh.
  1. Aliran Esensialisme
Berbeda dengan aliran progresivisme yang berpendapat bahwa tidak ada yang sifatnya universal bahwa disamping adanya perubahan juga ada yang sifatnya abadi, tetap sepanjang zaman, yaitu berupa esensinya sesuatu intinya sesuatu, hakikat sesuatu yang tidak berubah. Pendapat esensialisme tentang beberapa hal mengenai pendidikan :
-          Tentang apa yang harus diajarkan kepada peserta didik disamping adanya hal-hal yang berubah sesuai dengan tuntutan zaman, ada materi pelajaran yang sifatnya tetap, ada pada setiap zaman. Tentang materi apa yang sifatnya tetap tersebut, misalnya bahasa, moral, matematika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya. Hal-hal yang esensi tersebut ada meskipun wujud riilnya berbeda-beda.
-          Pendidikan harus menemukan hal-hal yang merupakanesensi tersebut.
-          Kurikulum tidak perlu terlalu banyak menyajikan pengetahuan atau pengalaman. Cukup diberikan yang esensi, yang merupakan inti dari berbagai pengetahuan atau pengalaman, dan selanjutnya peserta didik harus mengembangkan dirinya.
  1. Aliran Perenialisme
Perenialisme adalah suatu pandangan bahwa dalam zaman yang selalu berubah tetap ada “benang merah” yang menghubungkan zaman yang satu dengan zaman yang lain, atau antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain pada zaman yang sama. Pandangan umum perenialisme dintaranya yaitu :
-          Kehidupan manusia dewasa ini dengan penuh kekacauan, baik dalm hal moral,social, maupun intelektual. Hal ini akibat tidak adanya kepastian tidak ada yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menghadapi dunia yang justru selalu berubah. Dengan demikian, aliran ini juga mengakui adanya perubahan, tetapi menghendaki agar dalam perubahan tersebut manusia memiliki pegamgan yang kuat, sehingga tidak terombang-ambing oleh kondisi dan tuntutan lingkunan.
-          Aliran perenialisme menempuh pendekatan regresif, yaitu mencari pegangan dari masa lalu, yaiti apa yang telah menjadi pegangan hidup bagi orang-orang terdahulu yang sampai sekarang masih juga berfungsi sebagai pegangan hidup. Yang dimaksud masa lalu ini adalah masa lalunya masyarakat Eropa, yaitu masa kebesaran para filosof  terkenal pada zaman sebelum Masehi dan masyarakat Eropa zaman pertengahan atau zaman berkembangnya agama-agama besar.
-          Ada dua macam pegangan yang diperlukan manusia sejak dulu hingga sekarang, yaitu kepercayaan yang bersumber dari Tuhan dan kepercayaan hasil rasio.
-          Pandangan perenialisme tentang kebenaran adalah bahwa kebenaran merupakan paduan antara kebenaran hasil fikiran kebenaran yang melekat pada objek, dan keyakinan adanya kesesuian antara hasil berpikir  dan kondisi objek.
-          Kebenaran berpikir diperoleh dengan menggunakan hokum-hukum logika.
-          Pandangan perenialisme tentang nilai atau norma sesuai dengan orientasinya pada abad pertengahan, yaitu:
1.      Memandang norma adalah persoalan kejiwaan.
2.      Dasar nilai bersifat teologis dan ukuran baik buruk dari Tuhan.
-          Pandangan perenialisme yang menyangkut pendidikan:
a.       Tentang kurikulum, perenialisme berpendapat:
1.      Kurikulum merupakan alat untuk mengembamhkan akal dan moral.
2.       Kurikulum harum meliputi pengalaman langsung maupun tidak langsung.
b.       Tentang belajar, pandangan perenialisme adalah :
1.       Titik tolak belajar adalah  bahwa manisia adalah makhluk rasionalis. Titik tolak kemampuan manusia adalah kemampuan berfikir.
2.      Dari berfikir berkembanglah kebebasan, ketrampilan, bahasa dan sebagainya.
3.      Belajar adalah persoalan latihan dan disiplin mental. Yang penting adalah pengembengan kemampuan dasar, sedang materi ajar hanyalah alat untuk mengembangkan kemampuan dasar. Kalau kemampuan dasarnya tersebut sudah berkembang dengan sendirinya menusia akan dapat menghadapi dan memecahkan segala masalah yang sedang dihadapi.
4.      Ada belajar yang terjadi dalam bentuk pengajaran dan ada belajar belajar yang berupapenemuan sendiri oleh peserta didik.

2.2.4 Manfaat Filsafat Pendidikan
Manfaat filsafat pendidikan menurut Al-Syaibany adalah sebagai berikut:
  1. Filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang membutuhkannya untuk membentuk pikiran sehat terhadap proses pendidikan. Disamping itu dapat menolong terhadap tujuan dan fungsi serta meningkatkan mutu pendidikan serta memperbaiki pelaksanaan pendidikan yang meliputi penilaian, bimbingan dan penyuluhan.
  2. Filsafat pendidikan dapat membentuk asas secara untuk menentukan pandangan kajian yang umum, termasuk kurikulm, kaidah-kaidah pengajaran dan kebijaksanaan yang harus dibuat.
  3. Filsafat pendidika dianggap sebagai asas atau dasar yang terbaik untuk pernilaian pendidikan secara menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha  adan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah, perguruan tinggi secara umum untuk mendidik warga negara dan segala yang berhubungan dengan pendidikan.
  4. Filsafat pendidikan memberikan corak dan pribadi yang khas dan istimewa sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama, dan nilai umat islam. disamping member corzk kebudayaan, social, perekonomian, social dan politik untuk tuntunan masa depan.

2.3  Filsafat Pendidikan Indonesia
2.3.1        Terminology Filsafat Pendidikan dalam Pemikiran dan Praktik Pendidikan di Indonesia
Keadaan formal filsafat pendidikan din Indonesia kenyataanya belum pernah ada meskipun dalam penetapan kebijakan-kebijakan pendidikan  hal tersebut sudah terkandung secara inklusif. Dalam sistem pendidikan di Indonesia sudah tampak adanya dasar pemikiran filosofis, yaitu dalam bentuk pilihan-pilihan yang paling baik yang dipakai sebagai dasar pertimbangan penetapan tujuan, materi metode, alat, manajemen, dan sebagainya yang merupakan kompenen-kompenen sistem pendidikan. Namun, didalam memilih konsep-konsep terbaik tersebut tidak secara jelas menggunakan terminology filsafat ataupn filsafat pendidikan secara baku dan yang dipakai oleh banyak Negara di dunia.
Pendidikan di Indonesia tiadak secara eksplisit memilih cabang filsafat mana dan alairan fisafat mana yang dipakai dalan menetapkan kebijakan atau membuat aturan pelaksanaan. Memang hal ini tampaknya tidak menimbulkan masalah dalam praktik, akan tetapi dengan tidak digunakannya dasar filosofis ini kebijakan dan keputusan yang diambil  para pemangku kewenangan sangat mungkin berubah-ubah tanpa dapat dipertanggungjawabkan.    

2.3.2        Pancasila sebagai Landasan Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Satu-satunya pegangan yang dapat dikategorikan sebagai dasar filosofis Pendidikan di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila diakui sebagai filsafat bangsa Indonesia yang berkembang mulai zaman purba sampai sekarang dan diharapka sampai masa-masa selanjutnya.Bahwa Pancasila dapat dipandang sebagai landasan filosofis bagi pemikiran dan praktik pendidikan di Indonesia dapat dipahami atas dasar hakikat Pancasila. Hakikat Pancasila yang mendukung dipakainya sebagai dasar filsafat pendidikn adalah:
  1. Pancasila diakui sebagai filsafat bangsa dan dasar negar.
  2. Pancasila telah ditetapkan sebagai paradigma pembangunan bangsa.
  3. Hakikat Pancasila baik dalam keseluruhannya maupun sila demi sila telah diberikan rumusan yang jelas.
  4.  Hakikat Pancasila di posisikan sebagai hal yang universal.
  5. Hakikat Pancasila dapat mencakup ide-ide pokok berbagai filsafat yang ada.



2.3.3        Pancasila sebagai Dasar Filsafat Pendidikan Indonesia
Meskipun tidak secara eksplisit Pancasila ditetapkan sebagai filsafat pendidikan di Indonesia, namun dalam kenyataanya Pancasila telah ditetapkan sebagai landasan berfikir pendidikan baik dalam bentuk UU maupun dalm praktik penyelenggaraannya. Pancasila sudah ditetapkan sebagai paradigma pembangunan di Indonesia.Model dan kerangka berpikir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia mengacu pada hakikat Pancasila, baik sebagai filsafat bangsa maupun sebagai dasar Negara. Salah satu bidang  pembangunan  yang menggunakan paradigm pembangunan adalah pembangunan bangsa dan pembentukan karakter bangsa. Dari sinilah dapat dipahami bahwa Pancasila menjadi acuan dasar pemikiran dan pelaksanaan pendidikan. Hal ini telah diterapkan dalam penetapan hokum yang mengeenai pendidikan.

2.3.4        Beberapa Kebijakan Pendidikan Terkait Pandangan Filosofisnya
Sudah banyak kebijakan pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada sudut pandang filosofis secara universal. Kebijakan pemerintah tersebut diantaranya yaitu:
  1. Indonesia telah memilih pola pendidikan seumur hidup karena pada prinsipnya manusia dipandang sebagai makluk hidup yang tumbuh dan berkembang mulai lahir sampai mati. Ajaran Pancasila memandang manusia tidak hanya un tuk kehidupan di dunia, tetapi juga kehidupan di akhirat. Begitu pula pendidikan tidak hanya untuk anak, namun untuk orang dewasa juga.
  2. Indonesia juga telah melaksanakan “pendidikan untuk semua”. Hal ini didasarkan pandangan bahwa, pendidikan merupaka hak setiap manusia dan ini sesuai dengan Pancasila.
Dalam system pendidikan nasional Indonesia dikenal istilah Kurikulum Inti.Konsep ini mirip ajaran filsafat pendidikan esensialisme, yang menghendaki adanya mata pelajaran yangtidak terlalu banyak cukup yang pokok-pokok saja.
Dalam jangka waktu tertentu diadakan peninjauan kurikulum.Hal ini pendidikan Indonesia juga bisa menerima aliran filsafat pendidikan progresif yang menghendaki tidak adanya kurikulum yang abadi. Namun peninjauan kembali tesebut pada prinsipnya juga tidak terlalu sering dilakukan, yang terjadi hanyalah perubahan nama kurikulumnya saja.
Dalam pendidikan karakter orientasinya pada jiawa proklamasi, memandang semangat proklamasi sebagai  nilai karakter yang luhur. Hal ini sangat mirip dengan aliran filsafat perenialisme. Konsep multi cultural yang dikembangkan di Indonesia juga merupakan konsep global yang sesuai dengan konsep Pancasila .konsep pendidikan bermakna juga dikembangkan atas dasr filosofi global sesuai dengan hakikat Pancasila.
Dengan demikian dengan dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar pendidikan secara rasional dan empiric pendidikan Indonesia sudah memiliki landasan filosofis yang dapat dipertanggung jawabkan.

2.3.5        Pemikiran Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
  1. Filsafat Pendidikan dalam Metode Pembelajaran Sistem Among
Metode pembelajaran yang khas beliau itu digali dari mutiara-mutiara kebudayaan Indonesia, khususnya dalam kebudayaan Jawa. Metode pembelajaran itu disebut dengan istilah metode pembelajaran sistem among (Saifulloh,1985). Dalam pembelajaran sistem pamong, para guru diharuskan untuk mampu mengembangkan anak dalam proses pendidikan berdasarkan pada interaksi dinamis antara perkembangan natural yang ada dalam diri siswa yang tidak mengabaikan begitu saja kondisi atau keadaan lingkungan sosial dan fisik siswa. Kebijakan filosofis kependidikan yang sangat memperhatikan perkembangan natural atau perkembangan alamiah siswa itu memiliki implikasi dalam praktek-praktek pengajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru yang bertindak sebagai seorang pamong. Pamong dipadankan dengan istilah fasilitator atau pengarah dalam proses pembelajaran yang memperhatikan perkembangan alamiah siswa. Fungsi pamong bersifat pembinaan kepengasuhan, guru disarankan untuk menghindari pemberian perintah dan paksaan berdasarkan instrumen hukuman. Dalam konteks ini hukuman hanya diberikan pada situasi-situasi yang bersifat darurat. Hukuman yang diberikan seorang guru harus bersifat edukatif mengingat fungsi guru sebagai seorang pamong dalam sistem pendidikan among (Saifulloh, 1985).
Selain proses pendidikan pembelajaran yang sangat memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan siswa, Ki Hadjar Dewantara juga menjelaskan bahwa guru juga disarankan untuk memperhatikan lingkungan sosial kemasyarakatan dan lingkungan fisiknya. Ini berarti bahwa aspek pertumbuhan dan perkembangan yang berasal dalam diri anak dan lingkungan (fisik maupun sosial) seharusnya mendapat proporsi yang berimbang dalam proses pembelajaran sistem among. Sistem among Ki Hadjar Dewantara ini dapat digambarkan dalam semboyan filsafat kependidikan beliau yang sangat terkenal. Semboyan itu adalah sebagai berikut:
-          Ing ngarso asung tulodo: di depan memberi dorongan
-          Ing madya ambangun Karso: di tengah membangun kesempatan untuk berkarya
-          Tut Wuri Handayani: dari belakang memberikan dorongan dan arahan.

  1. Konsep Tri Pusat Pendidikan
Ki Hadjar mengembangkan kerjasama di antara pranata-pranata kebudayaan disekeliling kita, antara pranata keluarga, pranata sekolah, dan pranata masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu oleh Ki Hadjar Dewantara disebut dengan konsep tripusat pendidikan. Konsisten nilai yang diajarkan di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat merupakan suatu keharusan, sehingga perkembangan alamiah seorang anak untuk mencapai tujuan pendidikan manusia seutuhnya menjadi paripurna. Pendidikan yang bersifat khusus kemudian diwujudkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Dalam lingkungan pendidikan padepokan atau asrama, proses pendidikan menggambarkan suatu substansi yang menggambarkan roh kerja sama sistem keluarga, sekolah dan masyarakat.
Praktek kepengasuhan yang dilaksanakan dalam proses pendidikan pondok pesantren dilaksanakan dalam waktu dua puluh empat jam. Pendidikan dua puluh empat jam itu mungkin terjadi karena dalam pondok pesantren maupun dalam Perguruan Taman Siswa para pengasuh, guru sebagai pamong, dan siswa hidup bersama dalam sebuah lingkungan pendidikan. Dalam hal ini secara khusus para siswa dalam lembaga pendidikan Perguruan Taman Siswa tinggal dalam kompleks asrama.
Wujud konkret sistem pendidikan dalam lingkungan padepokan telah di kembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara ke dalam suatu lembaga pendidikan yang bersifat dan berorientasi pada nasionalitas Indonesia. Lembaga pendidikan ini dikenal dalam sejarah pendidikan si tanah air sebagai lembaga Perguruan Taman Siswa yang berpusat di kota Yogyakarta. Lembaga pendidikan Perguruan Taman Siswa mengelola pendidikan taman kanak-kanak sampai dengan pendidikan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan ini pada masa pergerakan menuju Indonesia merdeka memiliki kontribusi yang sangat penting dalam melahirkan para pejuang kemerdekaan.
Dalam perkembangan terakhir di sekitar tahun 1990an didirikan sebuah sekolah menengah di kota Magelang yang berusaha menggabungkan prinsip-prinsip pendidikan Perguruan Taman Siswa dengan disiplin militer. Sekolah ini merupakan sekolah yang dibina oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia. Fasilitas yang ada di sekolah ini sangat lengkap, sehingga segenap kebutuhan siswa dapat dipenuhi secara maksimal. Sampai saat ini sekolah ini, yaitu Sekolah Menengah Umum (SMU) Taruna Nusantara Magelang, telah berhasil meluluskan lulusan yang berkualitas.

  1. Keluarga sebagai Wadah Pendidikan Alamiah
Dalam konsep pendidikan secara umum, Ki Hadjar Dewantara memiliki pandangan bahwa institusi keluarga merupakan wadah atau tempat pendidikan pertama bagi seorang anak. Dalam konteks sosialisasi sebagai pewarisan nilai dari generasi tua kepada generasi muda, keluarga merupakan saluran sosialisasi yang pertama dan utama bagi seorang anak. Dalam proses pendidikan pada keluarga, orang tua memiliki kewajiban untuk mengarahkan perkembangan anak sesuai dengan perkembangan alamiahnya. Dalam konteks pendidikan dalam keluarga, orang tua melaksanakan tugas-tugas pengasuhan anak sebagai seorang pendidik berdasar pada prinsip-prinsip cinta kasih, tanpa pamrih, dan keberanian moril. Dalam hal ini prinsip-prinsip kekeluargaan itu juga diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam melaksanakan proses pendidikan di Perguruan Taman Siswa (Saifulloh, 1982). Dalam lingkungan pendidikan sekolah yang berasrama seperti pada Perguruan Taman Siswa, para guru sebagai pengasuh berupaya untuk berinteraksi dengan anak didik layaknya seperti orang tua. Prinsip-prinsip etika kependidikan sebagai pendidik yang memperhatikan konsep di depan memberi teladan, di tengah membangun kesempatan untuk berkarya, dan dari belakang memberikan dorongan dan arahan, menjadi pengarah dalam kehidupan kekeluargaan dalam lingkungan pendidikan semacam itu.
Dalam konteks ini, anak didik dapat melaksanakan hidup sosial kekeluargaan bersama sesama teman dan bersama para pendidik (guru atau pamong) sebagai satu kesatuan keluarga. Dalam proses pendidikan semacam ini, etika kependidikan, di depan memberi teladan, di tengah membangun kesempatan untuk berkarya, dan dari belakang memberikan dorongan dan arahan, akan dipahami dengan baik oleh anak didik dan kemudian mereka pun berusaha menerapkan prinsip etika kependidikan ini di dalam lingkungan kependidikan dan dalam masyarakat di luar lembaga pendidikan. Prinsip etika kependidikan kekeluargaan merupakan gambaran pengaruh tradisi kekeluargaan atau tradisi gotong-royong yang telah lama dalam kebudayaan nusantara pada masa yang lalu. Dalam konteks sosiologis, tradisi kekeluargaan atau tradisi gotong-royong, menggambarkan masyarakat patembayan. Tradisi kekeluargaan ini memberikan inspirasi yang kuat kepada Ki Hadjar Dewantara untuk membangun suatu lembaga pendidikan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai instrumen melawan gelombang pengaruh budaya barat yang dibawa oleh gerakan Kolonialisme Belanda pada saat itu. Prinsip etika kependidikan kekeluargaan terbukti cukup berhasil memberikan kontribusi bagi pejuang kemerdekaan Indonesia karena menghasilkan tokoh-tokoh pemimpin kemerdekaan memiliki jiwa gotong-royong dan jiwa kekeluargaan melaksanakan tugas-tugas pergerakan.

BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
Hubungan filsafat dan pendidikan tampaknya tidak dapat dipisahkan lagi, karena kajian filsafat pendidikan harus menoleh kembali pada hakikat manusia sebagai makhlik ciptaan Tuhan.Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Subjek filsafat pendidikan adalah seseorang yang berfikir atau memikirkan hakikat sesuatu dengan sungguh dan mendalam tentang bagaimana memperbaiki pendidikan . Objek filsafat dapat dibagi menjadi 2, yaitu objek material dan  objek folmal. Aliran-aliran filsafat pendidikan menurut tulisan Imam Bernadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan ada 3, yaitu aliran progresif,  aliran esensialisme, dan aliran perenialisme.
Sedangkan dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sudah ditetapkan sebagai paradigma pembangunan di Indonesia. Model dan kerangka berpikir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia mengacu pada hakikat Pancasila, baik sebagai filsafat bangsa maupun sebagai dasar negara.



DAFTAR PUSTAKA





http://tutorq.blogspot.co.id/2011/12/pancasila-sebagai-dasar-filsafat.html